Hari-hari terakhir, pemerintahan
Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) dihadapkan pada tiga
persoalan penting yang akan menyedot sebagian besar perhatiannya. Pertama,
tentu saja masalah kenaikan harga BBM. Kedua, TKI ilegal kita yang mulai benar-benar
diburu di Malaysia. Dan yang ketiga, klaim Malaysia atas wilayah kaya minyak di
Blok Ambalat.
Kenaikan Harga BBM
Menaikkan harga BBM memang
merupakan upaya pemecahan permasalahan yang dilematis. Siapa pun yang kebetulan
duduk di pucuk pemerintahan negeri ini, akan tidak mudah untuk mengambil
keputusan yang satu ini. Denny JA, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI),
berpendapat ibarat menemukan buah simalakama, isu BBM ini dapat membuat
pemerintah mati angin. Jika ingin mengikuti kehendak populer dengan cara tidak
mengurangi subsidi BBM, resiko ekonomi dan politik yang dihadapi pemerintah
juga besar. Jika pengurangan subsidi BBM ditunda lagi atau dibatalkan,
pemerintah segera mengalami kesulitan karena hal-hal berikut.
Pertama, harga BBM di dunia sudah melambung jauh. Dihitung dari
opportunity cost, dalam waktu setahun pemerintah harus menyubsidi BBM sekitar
Rp 50-70 triliun, bergantung pada harga BBM di pasar. Jelas angka subsidi itu
sangat besar bagi kemampuan pemerintah saat ini. Indonesia bukanlah negara kaya
dengan berbagai cadangan sumber dana yang longgar. Sebaliknya, negara ini sudah
delapan tahun berada dalam kubangan krisis ekonomi sejak 1998. Ditambah dengan
kewajiban membayar utang, keuangan pemerintah semakin berat jika tetap harus
menanggung subsidi BBM seperti saat ini. Menunda kembali pengurangan subsidi
BBM oleh sebagian ekonom dan politisi rasional dianggap kebijakan populis yang
kosong dan justru berbahaya dalam jangka panjang. Apalagi, publik luas menuntut
perubahan segera. Mereka ingin merasakan secara konkret dan secepatnya
realisasi masa kampanye, mulai dari perubahan sarana pendidikan, pelayanan
kesehatan dan kesempatan kerja. Untuk treatment jangka pendek, mengurangi
subsidi BBM dapat dikompensasi bagi rakyat miskin di aneka sektor itu.
Kedua, pemerintah melalui beberapa pejabatnya sudah telanjur
menggulirkan wacana kenaikan BBM. Bahkan sejak November 2004, wacana itu sudah
dipublikasikan. Presiden sendiri sudah pula mengumumkan akan menaikkan harga
BBM itu. Dengan gamblang sekali, SBY mengatakan siap tidak populer. Bagi
Yudhoyono, ia harus mengutamakan kesehatan ekonomi negara dan keadilan bagi
rakyat kecil. Jika pengurangan subsidi BBM kembali diambangkan, publik akan melihat
sikap plin-plan pemerintah. Dunia usaha semakin mengalami ketidakpastian.
Sementara, harga barang di pasar sudah merambat naik akibat dampak psikologis
wacana kenaikan BBM itu. Publik justru semakin tak yakin dengan ketegasan
pemerintah untuk berani mengambil kebijakan tak populer demi rasionalitas
ekonomi jangka panjang.
Tepat 1 Maret 2005, melalui
Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2005 yang ditandatangani Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono Senin malam (28/2) sekira pukul 19.30 WIB, harga BBM resmi
naik. Masyarakatlah pihak pertama yang menjadi korban. Kita semua sudah sering mengalami
hal ini. Bila harga BBM naik, tarif angkutan pasti naik. Dampak kenaikan tarif angkutan
pasti segera memicu kenaikan harga lainnya. Hampir semua harga barang kebutuhan
masyarakat dipastikan ikut naik. Aksi unjuk rasa pun marak dan seperti biasa
motornya adalah mahasiswa. Lalu diikuti pelaku transportasi. Kemudian
pihak-pihak lain yang merasa dirugikan akibat kenaikan harga BBM.
TKI Ilegal
Sesudah beberapa kali
diperpanjang, akhirnya batas amnesti pun benar-benar berakhir. Ribuan TKI
ilegal mulai dipulangkan dari 4 pelabuhan di Malaysia, yakni Port Klang, Port
Dickson, Malaka dan Johor. Di Batam sekitar 1000 TKI kembali melalui
Tanjungpinang dan Tanjungbalai Karimun. Di Entikong, Kalimantan Barat, jumlah TKI yang kembali ada 217 orang.
Permasalahannya, saat ini masih ada 200.000 hingga 400.000 TKI ilegal yang
bertahan di negeri jiran tersebut. Mereka akan diburu, ditahan dan diadili
serta tidak diperbolehkan lagi masuk Malaysia. Sangat masuk akal bila saat
Malaysia memburu TKI ilegal Indonesia ini rentan terjadi tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM, meskipun berkali—kali ditegaskan oleh pemerintah Malaysia,
pihaknya akan tetap berpegang pada hukum. Ekses dari pemburuhan TKI ini
dikhawatirkan rentan merembet ke bidang-bidang lain. Apapun juga akhir drama
pekerja migrant ini, namun beban masalah pengangguran di Indonesia akan
bertambah. Masalah ini hanya akan tuntas selesai jika bangsa Indonesia sudah
mampu menyediakan lapangan kerja yang layak untuk seluruh warganya.
Blok Ambalat
Dahulu nama ‘Ambalat’ hampir
tidak dikenal publik. Hanya sedikit kalangan yang tahu bahwa Ambalat adalah
nama sebuah kawasan yang berbentuk gugus kepulauan, yang terletak di antara Pulau
Kalimantan dan Sulawesi. Kawasan ini berada di Laut Sulawesi, di sebelah timur
Pulau Sipadan dan Ligitan, dan berbatasan dengan perairan Malaysia.
Sekarang, nama Ambalat menjadi
perhatian publik setelah Malaysia mengklaim kawasan ini sebagai bagian dari
teritorinya dan rencana eksplorasi negara ini di kawasan Ambalat melalui pemberian
perjanjian konsesi dari Petronas (perusahaan minyak negara Malaysia) kepada perusahaan
minyak Shell. Ada kekhawatiran Ambalat akan bernasib sama dengan Pulau Sipadan dan
Ligitan, yang terlepas dari genggaman kedaulatan Indonesia dan menjadi bagian
wilayah Malaysia.
Sengketa Ambalat ini menjadi
hangat karena Indonesia dan Malaysia mempunyai banyak kepentingan di kawasan ini.
Selain berkaitan dengan kepentingan pengklaiman kedaulatan wilayah negara,
masing-masing negara sama-sama mempunyai kepentingan ekonomi di kawasan Ambalat
ini. Diperkirakan kawasan perairan
Ambalat ini mengandung minyak dan sumberdaya alam lainnya yang belum sempat
tereksplorasi. Malaysia mendasarkan pengklaiman kawasan Ambalat dengan peta
yang dibuat negara jiran ini pada tahun 1979. Indonesia tidak mengakui hasil
pemetaan Malaysia ini dan telah mengajukan nota protesnya sejak tahun 1980an. Tetapi
tidak pernah mendapatkan respon dari Malaysia.
Pudak Nayati, SH, LLM, dosen
Hukum Internasional pada Fakultas Hukum UII menyatakan berdasarkan Hukum Laut
Internasional, penentuan garis/delimitasi batas wilayah maritim harus melalui
perundingan dengan negara lain yang berbatasan dengannya. Sedangkan Malaysia melakukan
pemetaan ini secara unilateral/sepihak. Ketentuan garis batas wilayah dengan
melalui kesepakatan antar negara ini pun dipertegas dengan beberapa keputusan
Mahkamah Internasional PBB, antara lain dalam kasus perikanan antara Inggris
dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case 1951) dan kasus Gulf of Maine 1984
antara Amerika Serikat dan Canada. Keputusan-keputusan ini menyatakan bahwa
delimitasi batas laut memiliki aspek internasional sehingga penetapannya tidak
hanya tergantung pada kehendak satu negara pantai saja. Apabila perjanjian
antarnegara mengenai delimitasi batas wilayah ini tidak mungkin dilakukan, maka
perlu diupayakan penyelesaian melalui pihak ketiga, misalnya diselesaikan
melalui badan peradilan. Tetapi, baik melalui perjanjian antar negara maupun
dengan pihak ketiga, penentuan delimitasi batas maritim ini tetap harus
berdasarkan kriteria keadilan dan metode lainnya yang menjamin hasil yang adil.
Malaysia berpendapat, ini berhak
atas kawasan Ambalat karena merupakan konsekuensi dari ditetapkannya Pulau
Sipadan dan Ligitan sebagai bagian wilayah negara jiran ini oleh Mahkamah Internasional
PBB akhir tahun 2002 yang lalu. Tetapi, yang kurang dicermati oleh Malaysia adalah
bahwa Keputusan Mahkamah Internasional PBB tersebut hanya memutus mengenai hak kepemilikan
kedua pulau saja dan tidak menyelesaikan mengenai garis batas wilayah perairan antara
Indonesia dan Malaysia disekitar Pulau Sipadan dan Ligitan, yang notabene
sampai saat ini belum diselesaikan secara rinci. Kalaupun sekarang Indonesia
meningkatkan keamanannya di kawasan perairan Ambalat dengan mengirimkan tiga
kapal perang, dua pesawat intai maritim dan empat pesawat F-16 nya, bukan berarti
akan menjamin kawasan Ambalat tidak terlepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Solusi atau Implikasi
Tiga persoalan diatas merupakan
persoalan penting yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Kemampuan
pemerintahan SBY – JK menangani dan menyelesaikan dengan baik persoalan tersebut
akan dapat menambah “deposito” ke masyarakat dan menjadi ajang pembuktian
terhadap janji-janjinya sewaktu kampanye yang akan membawa perubahan ke arah
perbaikan atas negeri dan bangsa ini. Namun sebaliknya, kalau pemerintahan SBY
– JK tidak mampu mencarikan solusi tepat maka hal ini tentu dapat membawa
implikasi terhadap kelangsungan kekuasaannya.
Politik massa lebih besar digerakkan oleh persepsi dan bukan fakta. Dalam
soal BBM, bisa saja dibuktikan dengan angka konkret bahwa faktanya subsidi BBM
sekarang ini hanya menguntungkan segelintir orang kaya. Namun, persepsi yang
terbentuk di masyarakat luas saat ini tidak mempercayai fakta itu. Survei membuktikan,
mayoritas publik tak percaya subsidi BBM hanya menguntungkan orang kaya.
Umumnya mereka merasakan kehidupan ekonomi sedang susah dan akan bertambah
susah lagi dengan naiknya harga BBM. Persepsi publik seperti itu sangat tidak
menguntungkan pemerintah. Siapa pun yang melawan kebijakan pemerintah untuk
masalah BBM segera menjadi pahlawan di mata rakyat. Para demagog akan mudah
sekali memainkan emosi massa dengan aneka slogan. Misalnya, mereka menyatakan,
"Perubahan yang dibawa pemerintah baru adalah perubahan yang membawa kita semakin
sengsara". Atau mereka mengatakan, "Pak Harto saja dapat kita
jatuhkan, apalagi SBY ."
Emosi publik akan mudah sekali
termakan oleh politisasi itu. Itu lahan yang subur untuk menghidupkan aneka isu
keras. Berbagai tuntutan baru akan dikumandangkan, mulai dari "Revisi kembali
harga BBM", atau "Turunkan harga", atau "Reshuffle kabinet",
atau bahkan "Turunkan SBY-JK". Sekali lagi kemampuan pemerintahan SBY
– JK dalam menangani ketiga persoalan diatas akan menjadi pertaruhan masa depan
dan kelangsungan kekuasaannya.
*Terbit Harian Batam Pos, 09 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar