Beberapa hari, menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-58 ini, semua rakyat Indonesia, dituntut untuk lebih mengaplikasikan cita-cita kemerdekaan engan sepenuhnya, demi tercapainya sebuah bangsa yang majemuk, berkedaulatan, mempunyai kebudayaan yang tinggi dan bermartabat. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan negara manapun di dunia ini.
Merdeka berarti Mandiri
Namun, apa yang kita lihat kenyataannya, hari ini negeri ini tak ubahnya
bak telur di atas tanduk, kehilangan dari sebuah nurani yang bersih. Sebuah pertanyaan muncul kemudian. Siapa sebenarnya
di antara kita ini yang mau dijajah kembali, sementara zaman semakin maju dan
canggih?
Tentu saja jawabnya adalah tidak. Siapa pun dia, penduduk bumi ini,
jelas-jelas akan mengutuk penjajahan terhadap dirinya, keluarga, dan
masyarakatnya. Bukankah kita sudah merdeka? Itulah jawaban yang lantang dan
tegas keluar dari mulut kita. Ternyata kemerdekaan yang ada adalah kemerdekaan
– kebebasanan -bersyarat. Bukan bebas dalam menentukan kemauan, pilihan dan
kebijakan. Sebuah negara yang merdeka tentunya "mandiri" tanpa
ketergantungan nasib kepada negara lain.
Kemandirian di sini menyangkut hal-hal yang umum, seperti kemandirian
ideologi, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, budaya, dan sebagainya dan
sebagainya. Kemandirian bukan berarti terus menutup pintu kerja sama dengan
negara-negara lain untuk suatu tujuan kemajuan, bukan itu.
Kemandirian ekonomi berarti negara tidak harus menggantungkan hidupnya
sepenuhnya dengan dana bantuan dan pinjaman dari negara lain. Akan tetapi,
menjadikan rakyat – anak bangsa ini - sebagai konsumen dan produsen atas
produk-produk dalam negeri yang telah dihasilkannya. Kemandirian politik
berarti sebuah bentuk kebebasan dalam bersikap bijaksana dan adil. Tidak ada
pemahaman paksaan dan kesewenang-wenangan atasnya.
Kemandirian hukum mestinya dengan penegakkan hukum yang adil bagi sebuah anak
negeri dan tidak pilih-pilih. Negara muslim (berpenduduk mayoritas muslim) baru
dikatakan merdeka bila kaum muslimin sudah dapat bebas mengamalkan ajaran dan
nilai-nilai syariat Islam yang mencakup segala aspek tatanan kehidupan,
termasuk dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, tanpa adanya batasan-batasan
yang menyalahi syariat. Tentu bukan memilah-milah bagian yang sifatnya pribadi
atau kelompok (harokah).
Islam mengharuskan pemeluknya untuk patuh dan tunduk kepada aturan-aturan
hukum Islam. Dalam masalah-masalah yang pokok, Islam tidak menyerahkan aturan
hukum kepada manusia, karena hal itu akan rentan dengan perebutan kepentingan
(vested interest). Oleh karenanya, hal itu diambil alih oleh Allah SWT Yang
Maha Mengetahui tentang hal-ihwal yang sesuai dengan kebaikan kemaslahatan umat
manusia dan bahaya yang akan mengancamnya. Demikian juga halnya dengan
kemandirian budaya, sebuah negara dikatakan mandiri dari sisi budaya, apabila
budaya bangsa itu tidak diwarnai apalagi diasumsi juga di pasung oleh budaya
asing (Barat), dalam berbagai sisi kehidupannya antara lain kehidupan remaja,
rumah tangga, lingkungan, dll.
Islam dan Kemerdekaan
Manusia yang merdeka dalam perspektif Islam adalah manusia yang tidak
mengaplikasikan pola pikir kaum penjajah, seperti sekularisme, matrialisme,
hedonisme, kapitalisme dan lain-lainya. Dan ia hanya berpegang teguh pada
ideologinya sendiri yakni Islam. Sehingga pola pikir (fikrah) nya senantiasa
mengacu dan berpijak kepada tuntunan risalah Islam yang termaktub dalam Alquran
dan As-sunah Rasulullah saw.
Dalam konsep Islam, kemerdekaan diawali dari keterbebasan akidah dan pola
pikir manusia dari mengikuti hawa nafsunya. Sebab menurut terminology, akidah
hanya dikenal dua jalur yaitu: (1) jalur yang benar / al haq (Allah SWT) dan (2)
jalur thagut (setan) dan hawa nafsu. Orang yang tidak mengikuti jalur Allah SWT
--sadar atau tidak sadar--sudah pasti akan terkooptasi oleh jalur setan atau
hawa nafsu. Maka ke jalur Allahlah kepastian dan pilihannya. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT, "… barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman
kepada Allah SWT, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus." (Al-Baqarah: 256).
Jalur Allah SWT (hizbullah) itu
"rambu-rambunya" sudah sangat jelas, baik dalam dimensi politik,
ekonomi, hukum, budaya, dan lainnya. Kesemuanya harus mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Allah SWT dalam Alquran dan hadist-hadist RasulNya. Tinggal kepada kita, manusianya yang harus
sadar dan kemudian mengamalkannya. Manusia kadang cenderung mengedepankan
rasionya daripada harus duduk belajar dengan alim ulama – ahli ilmu –dengan harapan
lebih rasional dan objektif. Pola berpikir hanya mengandalkan rasio ini belum
final dalam mencari kebenaran dan kebahagiaannya. Wajar sajalah bila terdengar
produk-produk pola pemikiran "asing" (Barat) didewakan – kalau tidak
dikatak di tuhankan - , padahal semua ini akan menjadi parasit versi
"virus" SARS yang lambat laun akan memusnahkan dan mematikan potensi dan
fitrah manusia itu sendiri.
Padahal pada akhirnya manusia juga akan mengakui peringatan Allah SWT
nantinya di saat peringatan-peringatan-Nya turun ke dunia. Sebagaimana dalam
firmanNya, "Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 124).
Sudah saatnya manusia--khususnya umat Islam--sadar dan mereferensi kepada
aturan dan
tuntunan Allah SWT. Bukankah sejarah perkembangan Islam di masa lalu dapat
kita dijadikan sebagai acuan dan pelajaran. Di mana pada abad ke-7 kelahiran
Islam, dihadapkan pada kekuatan-kekuatan raksasa dunia, antara kerajaan Romawi
di Barat dan kerajaan Persia di Timur. Kemudian, dunia Islam (yang masih
terjajah) dihadapkan lagi pada kekuatan raksasa dunia lainnya, yakni dunia
Komunis yang dipimpin Uni Soviet dan dunia Kapitalis yang dipimpin Amerika
Serikat. Hancur dan runtuhnya Uni Soviet bukan berarti dunia Islam sudah bebas
dari penjajahan. Akan tetapi, semakin dahsyatnya Amerika Serikat menyerang dan
ingin menghancurkan Islam dengan berbagai strategi politik kotor, politik
standar ganda dan tak bermoral. Misi estafet ini tak urung habisnya mengecam
dunia Islam. Hanya orangnya saja yang berubah namun visi, misi, dan prinsipnya
sama saja. Berpindah-pindah
tangan namun kejahatannya tetap. Inilah kenyataan pahit dari sebuah kemerdekaan
yang bersyarat.
Konsekuensinya adalah kita yang harus sejak dini merebut kembali
kemerdekaan kita, melalui berbagai pendekatan-pendekatan yang dapat kita
lakukan demi kebangkitan Islam. Ketergantungan tersebut harus kita hilangkan
dan akhirnya kita katakan selamat tinggal serta kita jadikan kenangan. Sebab
dengan kemandirian itu kita akan lebih disegani oleh siapapun tak kecuali
Amerika serikat. Ingat kemandirian Rasulullah dan para khalifahnya yang
akhirnya mampu menundukkan kerajaan Romawi dan Persia, yang waktu itu siapapun
tidak akan mengira umat Islam mampu melakukannya.
Pertanyaannya, mampukah kita mengembalikan Izzah-harga diri--yang telah
hilang?
Catatan Akhir
Sebagai penutup, ada satu firman Allah SWT dalam alquran yang dapat kita
jadikan renungan dan motivasi bagi kita ummat Islam. Umat Islam janganlah lemah
dan bersedih hati, sebab kita adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya
jika kita beriman kepada Allah SWT. "Janganlah kalian bersikap lemah dan
janganlah (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang- orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (Ali Imran: 139).
Semoga kita semua termasuk golongan ini. Amien. Dirgahayu Indonesiaku, anak negeri ini
merindukan kemerdekaan yang hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar