Menjadi Pemimpin
Menjadi Bupati dan Wakil Bupati adalah menjadi pemimpin bagi seluruh
masyarakat Blora. Bukan pemimpin bagi warga masyarakat yang memilihnya saja,
namun juga bagi masyarakat Blora yang kemarin tidak mendukung dan memilihnya.
Pemimpin, secara sederhana didefinisikan sebagai seorang yang secara terus
menerus membuktikan bahwa ia mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang
lain, lebih dari kemampuan mereka (orang lain itu) mempengaruhi dirinya. (Ryaas
Rasyid, 2002). Sedangkan kepemimpinan adalah sebuah konsep yang merangkum
setiap segi dari interaksi pengaruh antara pemimpin dengan pengikut dalam
mengejar tujuan bersama. Dengan asumsi, suasana kepemimpinan hanya mungkin
terbentuk dalam suatu lingkungan yang secara dinamis melibatkan hubungan
diantara sejumlah orang. Seseorang bisa mengklaim dirinya sebagai seorang
pemimpin manakala ia memiliki pengikut atau orang yang dipimpin. Selanjutnya
antara pemimpin dan para pengikut terjalin ikatan emosional dan rasional
menyangkut kesamaan nilai (value) yang ingin disebar dan ditanam serta kesamaan
tujuan yang ingin dicapai.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah. Selain persyaratan yang
harus dipenuhi, apa yang dikerjakan oleh seorang pemimpin akan
dipertanggungjawabkan dihadapan pemilih dan di akhirat kelak. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki
sifat dan mental yang baik. Artinya ia harus mampu menjadi teladan bagi yang
dipimpinnya. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari mungkin hanya
salah satu ungkapan betapa seorang pemimpin menjadi panutan mereka yang
dipimpinnya.
Era Transisi dan Agenda
Mendesak
Sejalan dengan hal tersebut dalam konteks Kabupaten Blora muncul sebuah
pertanyaan. Mampukah Bupati dan Wakil Bupati terpilih membawa Blora ke arah
yang lebih baik dari kondisi sekarang? Pertanyaan ini penting karena sebagian
pengamat berpendapat bahwa saat ini adalah era transisi. Sebuah era yang
menurut Guillermo O'Donnel dan Philippe C Schmitter (1993) dinyatakan sebagai
era pertaruhan dan sangat menentukan masa depan. Sebab di masa tersebut adalah masa abnormalitas
yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka yang seharusnya menjadi lokomotif bagi
keberlangsungan demokrasi, justru terlibat dalam penciptaan situasi yang jauh
dari nilai dan spirit demokrasi. Tiadanya kepastian hukum, ekonomi, dan
politik. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), menjamurnya praktik KKN,
bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran, yang semestinya mendapat
prioritas untuk dicarikan solusinya.
Diatas adalah gambaran dari kondisi dan realitas yang terjadi saat ini. Hal
ini menyiratkan bahwa era kepemimpinan “Bayu” akan sangat menentukan arah dan
masa depan Kabupaten Blora. Berkembang kearah yang lebih baik atau justru
sebaliknya. Secara politis, pemimpin yang dipilih secara langsung memiliki
legitimasi politik yang sangat kuat. Namun berbekal legitimasi saja tentu tak
cukup untuk menjadi pemimpin orkestra masyarakat Blora sehingga tercipta
harmonisasi pembangunan di Kota Blora tercinta.
Meminjam ungkapan Gubernur Mardiyanto pada saat melantik Basuki dan Yudhi
bahwa yang menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera digesa untuk dicarikan
jalan keluar yang terbaik adalah pertama, Blora yang dari tahun ke tahun selalu
dirundung kekeringan dan kedua, minimnya invetasi yang masuk dan menanamkan
modalnya ke Blora. Inilah dua agenda mendesak yang harus dilakukan oleh Bupati
dan Wakil Bupati di tahun pertama menjadi nahkoda kapal pembangunan Blora.
Kapasitas kepemimpinan (leadership) dan kemampuan manajerial akan sangat
dominan menjawab atas permasalahan tersebut. Dan biarlah masyarakat Blora nanti
yang akan menilai bagaimana kualitas dan kemampuan pemimpin Blora tersebut.
Penulis saat ini merasa tidak memiliki kapasitas sedikitpun untuk membangun
opini dan persepsi masyarakat Blora terhadap hal tersebut.
Tiga Cermin buat Pemimpin
Diakhir tulisan ini, ijinkan penulis mengutip pernyataan mantan Kapolri
Hoegeng, bahwa seorang pemimpin harus memiliki tiga buah cermin. Pertama,
seorang pemimpin harus bercermin kepada sejarah, kedua, bercermin kepada
bawahannya dan yang ketiga, bercermin kepada kawan-kawan atau sahabat dekatnya.
Bagi seorang pemimpin, nasihat sepuh dari yang pernah menjadi anggota
Petisi 50 ini, sangatlah penting. Sebab sejarah, para bawahan dan kawan-kawan
terdekat, adalah sesuatu yang akan dengan jujur dan obyektif memberikan
pantulan siapa sesungguhnya seorang pemimpin dan bagaimana sebaiknya
menjalankan kepemimpinannya.
Pertama, Sejarah adalah sesuatu yang disadari atau dipersepsi oleh
masyarakat hari ini tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, untuk mendorong dan
menggerakkan masyarakat tersebut ke masa depan, termasuk menggerakkan cita-cita
yang ingin dicapai (Prof. Mattulada). Atas dasar itulah, kesadaran kekinian seorang pemimpin tentang masa lalu
dan masa depan menjadi begitu penting untuk dicermati dan diteliti. Benarkah
seorang pemimpin sanggup memanfaatkan masa lalu — entah peristiwa, langkah,
atau bahkan hanya sekadar sebuah momen kecil --untuk mendorong, memberi
inspirasi dan menggerakkan organisasi atau masyarakat yang dipimpinnya ke masa
depan?
Hal ini sejalan dengan jargon populer dari Bung Karno, “jangan
sekali-sekali melupakan sejarah”. Maknanya, bagi seorang pemimpin, sejarah adalah sebuah cermin
untuk dapat melihat secara jujur apakah cara berpikir, bersikap dan tindakan
yang dilakukannya telah berada di jalan yang benar atau sebaliknya.
Tokoh yang tahu persis bagaimana bercermin di depan sejarah adalah Sonia
Gandhi. Dalam pemilu terakhir di India, Partai Kongres yang dipimpinnya
memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Sehingga posisi Perdana Menteri pun sudah di depan mata. Namun apa yang dia
lakukan?. Dalam sebuah konferensi pers yang dicatat paling emosional, dengan
rendah hati dia menyerahkan tampuk politik tertinggi itu kepada Manmohan Singh.
Sebab dia tahu betul ganasnya pertikaian politik India yang masih sarat
diwarnai hal-hal yang bersifat primordial, terutama persoalan etnis. Hal mana
ini telah merenggut nyawa ibu mertuanya Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi
suaminya. Godaan kekuasaan, yang bagi orang lain merupakan sebuah instrumen yang
mungkin dapat digunakan untuk menghapus duka dan dendam karena telah kehilangan
orang-orang tercinta. Namun hal itu tidak dilakukannya justru dia menampiknya
dengan elegan.
Media pers barat kemudian menulis, bahwa di depan sejarah Sonia telah
mencatat hal paling luhur dan teladan. Paling patut bagi siapapun yang ingin
meraih prestasi kemanusiaan puncak dengan menolak kekuasaan—hal yang justru
diperjuangkannya dengan darah dan air mata. Di depan sejarah, Sonia telah mempertontonkan sisi
lain dari perjuangan perebutan kekuasaan. Justru sisi paling manusiawi yaitu
menolaknya untuk menghindarkan pertumpahan darah. Itulah contoh pemimpin yang
bercermin dari sejarah.
Kedua, Bawahan atau anak buah, menurut Hoegeng adalah cermin yang paling
buruk. Mungkin ia ingin menyindir realitas bahwa kultur para bawahan
---terutama di negeri ini, adalah berbuat dan bekerja hanya untuk menyenangkan
para pemimpin atau atasan mereka – asal bapak senang (ABS). Namun disisi lain,
ia menegaskan melalui bawahanlah seorang pemimpin dapat dibuktikan mengenai
keberhasilan dan kegagalannya. Melalui bawahan pula, seorang pemimpin dapat
mengetahui dengan pasti dan mengukur dengan tepat efektivitas kebijakan dan
langkah-langkah yang diambilnya. Atas dasar tersebut bercermin kepada bawahan
bagi seorang pemimpin, adalah hal yang mutlak.
Sebab, sebagaimana dikatakan Collin Powell, mantan Menlu AS, dalam The
Secret Leadership of Collin Powell: “Ketika para prajurit tidak lagi membawa
masalahnya kepada anda, anda telah berhenti memimpin mereka. Mereka mungkin
telah kehilangan keyakinan bahwa anda dapat membantu mereka. Atau
berkesimpulan bahwa anda tidak peduli pada mereka. Dan kedua-duanya adalah
merupakan kegagalan kepemimpinan.”
Seseorang yang berusaha meyakini
hal tersebut adalah mantan Presiden Gerald Ford. Ketika menduduki Gedung Putih
ia melakukan tradisi yang unik bagi seorang pemimpin, yakni pada pekan ketiga
setiap bulan sepanjang masa jabatannya, dia mengundang kawan-kawan dekat dan
bawahannya untuk bertemu. Merekalah penasihat sekaligus pengeritik saya yang
paling jujur, kata Ford, melukiskan tentang tamunya tersebut. Di hadapan
kawan-kawan dekat, terutama kawan-kawan masa kecil dan masa remaja, kita dapat
memperoleh nasihat paling berharga sebab mereka tak akan segan-segan menganggap
kita bodoh, seperti pada masa-masa pertumbuhan itu, tambahnya.
Ketiga, Sahabat. Microsoft adalah
salah satu yang dapat menjadi contoh. Sejarah Microsoft adalah buah dari sebuah
ikatan persahabatan. Antara seorang Bill Gates dengan Paul Allen sejak mereka masih
sekolah menengah. Sebagai seorang mahasiswa matematika di Harvard, Gates tetap
berkorespondensi dengan sahabatnya Allen di Stanford University dan saling
berkirimkiriman kliping majalah komputer. Yang pada akhirnya keduanya sepakat
untuk mendirikan Microsoft di tahun 1975. Dan ketika kemudian Microsoft tiba
pada puncak kejayaannya, kedua sahabat ini masih saling bahu membahu. Seperti
telah di ketahui, Gates akhirnya mundur dari posisi CEO dan lebih
berkonsentrasi pada dunia riset, sedang kendali Microsoft kemudian diserahkan
kepada sang sahabat Allen. Diantara kedua pemimpin bisnis raksasa ini ternyata
tersimpul tali persahabatan yang saling bersinergi dan saling melengkapi.
Seorang pemimpin memang seyogyanya memiliki sahabat-sahabat dekat.
Semoga tulisan yang sederhana ini
dapat menjadi inspirasi bagi Bupati dan Wakil Bupati dalam memimpin masyarakat
Blora dan membawa Blora yang Adil, Sejahtera, Dinamis dan Bermartabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar