Di tahun 2005 ini, paling tidak
ada dua perhelatan besar terkait proses pencarian pemimpin di Provinsi
Kepulauan Riau. Pertama, di tingkat pemuda, dengan akan dilaksanakannya
Musyawarah Provinsi KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) pada tanggal 27
Februari 2005. Hal ini sesuai hasil pertemuan antara DPP KNPI dengan Caretaker,
dan OKP se-Provinsi Kepulauan Riau, pada hari Selasa, 8 Februari 2005 di Gedung
Pertemuan Kantor Gubernur.
Kedua, di tingkat Kepala Daerah,
dengan akan digelarnya pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
langsung pada Juni 2005. Berkaitan dengan dua hajatan tersebut, perlu kiranya
dicermati secara lebih seksama sosok kandidat yang akan bertarung pada
perhelatan tersebut. Memang, telah banyak tulisan dan kajian yang mengupas
tuntas perihal pemimpin dan kepemimpinan ini.
***
Pemimpin, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai seorang yang secara
terus menerus membuktikan bahwa ia mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku
orang lain, lebih dari kemampuan mereka (orang lain itu) mempengaruhi dirinya.
(Ryaas Rasyid, 2002). Sedangkan kepemimpinan adalah sebuah konsep yang
merangkum setiap segi dari interaksi pengaruh antara pemimpin dengan pengikut
dalam mengejar tujuan bersama. Dengan asumsi bahwa suasana kepemimpinan hanya
mungkin terbentuk dalam suatu lingkungan yang secara dinamis melibatkan
hubungan diantara sejumlah orang. Seseorang bisa mengklaim dirinya sebagai
seorang pemimpin manakala ia memiliki pengikut atau orang yang dipimpin.
Selanjutnya antara pemimpin dan para pengikut terjalin ikatan emosional dan
rasional menyangkut kesamaan nilai (value) yang ingin disebar dan ditanam serta
kesamaan tujuan yang ingin dicapai.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah. Selain persyaratan yang
harus dipenuhi, apa yang dikerjakan oleh seorang pemimpin akan
dipertanggungjawabkan dihadapan pemilih dan di akhirat kelak. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki
sifat dan mental yang baik. Artinya ia harus mampu menjadi teladan bagi yang
dipimpinnya. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari mungkin hanya
salah satu ungkapan betapa seorang pemimpin menjadi panutan mereka yang
dipimpinnya.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks pencarian pemimpin di Provinsi
Kepulauan Riau muncul sebuah pertanyaan, adakah putra terbaik yang akan
dilahirkan provinsi baru ini? Mampukah para figur kandidat itu membawa provinsi
ini ke arah yang lebih baik dari kondisi sekarang?
Pertanyaan tersebut muncul karena era transisi telah menjadi pertaruhan dan
sangat menentukan masa depan. Tesis Guillermo O'Donnel dan Philippe C Schmitter
(1993) menyatakan, era transisi merupakan masa abnormalitas yang penuh dengan
ketidakpastian. Mereka yang seharusnya menjadi lokomotif bagi kelangsungan
demokrasi, justru terlibat dalam penciptaan situasi abnormal tersebut. Tiadanya
kepastian ekonomi, politik, dan hukum; penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power), menjamurnya praktik KKN, bertambahnya angka kemiskinan dan
pengangguran, yang semestinya mendapat prioritas penyelesaian, justru tidak
tersentuh sama sekali. Waktu mereka habis hanya untuk mengurusi kelompok atau partai
yang tidak berkaitan dengan persoalan publik secara umum.
***
Mengutip pendapat Ryaas Rasyid,
paling tidak terdapat dua model pendekatan untuk menjelaskan proses kelahiran
pemimpin yang secara dominan mempengaruhi perkembangan teori di bidang ini. Pendekatan
yang pertama dikenal dengan personality traits approach dan yang kedua adalah
situational interactional approach. Pendekatan pertama berangkat dari asumsi
tentang adanya sifat-sifat dan bakat kepribadian tertentu yang dimiliki oleh
seseorang, baik sebagai bawaan kelahiran maupun pengalaman yang kemudian
membentuk kapasitas kepemimpinan. Sedangkan pendekatan kedua menekankan pada
situasi lingkungan, di mana berlangsung interaksi sosial, politik, ekonomi dan
budaya, sebagai faktor determinan bagi lahirnya seorang pemimpin.
Pendekatan ini berangkat dari
asumsi bahwa seorang pemimpin lahir dari produk situasi lingkungan yang secara
kebetulan mempertemukan dua gejala: kualitas kepribadian seseorang dan tuntutan
situasi yang membutuhkan kehadiran pemimpin dengan kualitas yang sama. Model pendekatan ini tidak menolak
pentingnya faktor kepribadian. Faktor ini hanya tergeser dari posisi determinan
menjadi kontributif, karena yang menjadi faktor determinannya adalah situasi
interaksi lingkungan itu tadi.
Ada beberapa faktor kontributif yang layak dianalisa bersama dengan faktor
kepribadian pemimpin, demikian menurut Kenneth F. Janda. (1). Lingkungan sosial dan fisik
di mana
interaksi kelompok berlangsung, (2). Tuntutan
kebutuhan kolektif yang perlu diatasi, (3). Karakteristik kepribadian dari
orang-orang lain dalam kelompok itu.
Perdebatan tentang teori mana yang lebih tepat
menjelaskan gejala kepemimpinan secara umum, cenderung berlangsung seimbang.
Fenomena kepemimpinan Bung Karno, misalnya, dapat dijelaskan oleh masing-masing
teori itu dengan sama kuat dan meyakinkan. Kapasitas kepribadian Bung Karno
yang mengesankan adanya sifat superioritas dibanding pemimpin lainnya
dimasanya, sangat mungkin dijelaskan dengan model pendekatan pertama. Terdapat
penonjolan yang secara alamiah membedakan dirinya dari yang lain, sehingga
karisma yang terpancar dari Bung Karno lebih menonjol, pengikutnya lebih banyak
dan suaranya lebih di dengar. Singkat kata, kesan bahwa ia memang dilahirkan
sebagai seorang pemimpin agak sulit ditolak begitu saja.
Namun demikian, pada tingkat analisis tertentu
sesungguhnya banyak pertanyaan yang mungkin diajukan untuk menggugat keabsahan
dari determinasi faktor kepribadian Bung Karno itu. Misalnya, mungkinkah
militansi dan sifat revolusionernya muncul dan berkembang tanpa kehadiran
penjajah Belanda? Atau juga, seandainya cara penjajahan yang dilakukan Belanda
tidak seburuk apa yang dilihat oleh Bung Karno pada masa mudanya. Apakah
mungkin kualitas kepribadian dan kapasitas kepemimpinan Bung Karno seperti itu
dapat terbentuk dalam lingkungan sosial politik kerajaan-kerajaan tradisional?
Dan bisa jadi masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya untuk menawarkan
pembuktian lain bahwa kepemimpinan Bung Karno bisa dijelaskan dengan model pendekatan
kedua.
Agaknya kombinasi kedua model pendekatan ini
perlu dilakukan guna menjamin objektifitas dalam melakukan analisa atau studi
kepemimpinan. Namun tentunya hal itu tidak semudah memadukan dua warna di atas
kertas kosong. Untuk itu upaya pencarian paradigma kepemimpinan terus
dilakukan, dan salah satunya oleh Glenn D. Paige, Guru Besar Kepemimpinan
Politik di Universitas Hawaii. Ia mencoba menawarkan pendekatan ilmiah dengan
memperkenalkan enam variabel pokok yang perlu diperhatikan dan diteliti dalam
melakukan studi kepemimpinan.
Pertama, Kepribadian. Faktor ini menjadi sangat penting karena pemimpin
adalah seorang sosok maka pengkajian terhadap kapasitas pribadi menjadi tak
terelakan dan mendasar. Kepribadian dalam konteks ini harus dipahami secara
menyeluruh sebagai gambaran karakteristik dan jadi diri seseorang. Selanjutnya,
pengetahuan tentang karakteristik pribadi si pemimpin dibawa dan didudukan
dalam perspektif sejarah perjalanan hidupnya, untuk kemudian ditelaah kesamaan
dan perbedaan, keunggulan dan kelemahannya dengan karakteristik orang lain.
Kemudian muaranya adalah kontribusi apa yang diberikan oleh faktor kepribadian
ini terhadap penampilan dan perilaku kepemimpinannya.
Kedua, Peran. Seseorang diakui sebagai pemimpin karena kemampuannya dalam
melakukan peran-peran tertentu yang diharapkan oleh pihak lain. Hal ini
berarti, peran berkenaan langsung dengan serangkaian harapan dari si pengikut
atas perilaku pemimpin dan ini terlepas dari sifat dasar yang dimilikinya. Bila
harapan ini dihayati sebagai sesuatu yang harus dilakukan maka ia akan
mengambil keputusan untuk menentukan peran apa yang mesti ditampilkan dalam
kepemimpinannya. Pengkajian yang mendalam tentang penghayatan pemimpin terhadap
peran apa yang harus dibawakan akan memberikan kontribusi bagi pemahaman kita
akan perilaku kepemimpinannya.
Ketiga, Organisasi. Faktor ini perlu diteliti karena ia menyangkut sistem
interaksi interpersonal baik yang bersifat langsung maupun tidak dengan
masyarakat. Dalam konteks ini, pemimpin ditempatkan sebagai personifikasi
organisasi dimana interaksi dengan pengikutnya berlangsung. Melalui studi ini
diharapkan lahir pemahaman tentang pengaruh apa saja yang dirasakan oleh para
pengikut dalam interaksinya dengan pemimpin.
Keempat, Tugas. Faktor ini berkenaan dengan penghayatan si pemimpin
terhadap tugas yang ia merasa terpanggil untuk memikulnya dan penghayatan ini
akan tampak dari keputusan-keputusan yang dibuat dan dilakukan, dan masalah apa
yang harus diselesaikan.
Kelima, Nilai-nilai. Adanya cita-cita tentang bentuk hubungan apa yang akan
dibangun oleh seorang pemimpin dan cara-cara apa yang digunakan untuk
mewujudkannya, akan mencerminkan nilai-nilai yang menjadi landasan berpijak
dari perilaku sang pemimpin.
Keenam, Lingkungan. Faktor ini mencakup ciri-ciri lingkungan fisik,
teknologi, ekonomi dan sosial budaya yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan
seseorang.
***
Dalam bahasa lain Mubha Kahar Muang, (2003) mengutip pernyataan mantan
Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebutkan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki
tiga buah cermin.
Pertama, seorang pemimpin harus bercermin kepada sejarah, kedua, bercermin
kepada bawahannya dan yang ketiga, bercermin kepada kawan-kawan atau sahabat
dekatnya. Bagi seorang pemimpin, nasihat sesepuh yang pernah menjadi anggota
Petisi 50 ini, sangatlah penting. Sebab sejarah, para bawahan dan kawan-kawan
terdekat, adalah sesuatu yang akan dengan jujur dan obyektif memberikan
pantulan siapa sesungguhnya seorang pemimpin dan bagaimana sebaiknya menjalankan
kepemimpinannya.
Sejarah, mengutip pendapat Profesor Mattulada almarhum adalah sesuatu yang
disadari atau dipersepsi oleh sebuah masyarakat hari ini tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu, untuk mendorong dan menggerakkan masyarakat
tersebut ke masa depan, termasuk menggerakkan cita-cita yang ingin dicapai. Atas dasar itulah, kesadaran kekinian
seorang pemimpin tentang masa lalu dan masa depan menjadi begitu penting untuk
dicermati dan diteliti. Benarkah seorang pemimpin sanggup memanfaatkan masa
lalu —entah peristiwa, langkah, atau bahkan hanya sekadar sebuah momen kecil
--untuk mendorong, memberi inspirasi dan menggerakkan organisasi atau
masyarakat yang dipimpinnya ke masa depan?
Sebuah kutipan populer dari Bung
Karno menyebutkan “jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Maknanya, bagi
seorang pemimpin, sejarah adalah sebuah cermin untuk dapat melihat secara jujur
apakah cara berpikir, bersikap dan tindakan yang dilakukannya telah berada di
jalan yang benar atau sebaliknya.
Contoh seorang yang mampu bercermin
pada sejarah adalah Jim McNerney. Seorang CEO yang berada di puncak 3M, sebuah
perusahaan penghasil post-it notes, kertas catatan kecil dengan perekat, produk
yang hadir di hampir semua meja kerja kantor-kantor di seluruh dunia. Sebagai
salah seorang CEO yang paling diminati untuk direkrut oleh
perusahaan-perusahaan raksasa seperti Boeing, Coca Cola, dan Disney, dia tahu
dengan persis seperti apa 3M harus dikelola.
Bekal pokok yang dimilikinya adalah kesadaran bahwa 3M memiliki sebuah tradisi dan tentu saja sejarah yang sangat cemerlang di sisi inovasi. Dia lantas mempelajari berbagai kegagalan yang terjadi, seperti penghamburan biaya riset untuk produk-produk non komersial. Dan dengan bekal catatan sejarah seperti itu, di tangan Jim, 3M pada tahun 2003 mencatatkan kenaikan rata-rata penjualan sampai 11% dari ketujuh divisinya. Mulai dari divisi produk selotip sampai amplas, dari kaca film pelindung sampai layar TV. Lalu dengan bekal sejarah pula Jim menanamkan visi masa depan melalui kiat lama yaitu menumbuhkan kolaborasi antara ilmuan dan para pemasar sejak awal.
Tokoh lain yang tahu persis bagaimana bercermin di depan sejarah adalah
Sonia Gandhi. Dalam pemilu terakhir di India, Partai Kongres yang dipimpinnya
memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Sehingga posisi Perdana Menteri pun
sudah di depan mata. Namun apa yang dia lakukan?. Dalam sebuah konferensi pers
yang dicatat paling emosional, dengan rendah hati dia menyerahkan tampuk
politik tertinggi itu kepada Manmohan Singh. Sebab dia tahu betul ganasnya
pertikaian politik India yang masih sarat diwarnai hal-hal yang bersifat
primordial, terutama persoalan etnis. Hal mana ini telah merenggut nyawa ibu
mertuanya Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi suaminya.
Godaan kekuasaan, yang bagi orang lain merupakan sebuah instrumen yang
mungkin dapat digunakan untuk menghapus duka dan dendam karena telah kehilangan
orang-orang tercinta. Namun hal itu tidak dilakukannya justru dia menampiknya
dengan elegan. Media pers barat kemudian menulis, bahwa di depan sejarah Sonia
telah mencatat hal paling luhur dan teladan. Paling patut bagi siapapun yang
ingin meraih prestasi kemanusiaan puncak dengan menolak kekuasaan—hal yang
justru diperjuangkannya dengan darah dan air mata. Di depan sejarah, Sonia telah mempertontonkan sisi
lain dari perjuangan perebutan kekuasaan. Justru sisi paling manusiawi yaitu
menolaknya untuk menghindarkan pertumpahan darah. Itulah contoh pemimpin yang
bercermin dari sejarah.
Cermin kedua tegas Hoegeng adalah anak buah atau bawahan. Namun menurutnya
bawahan adalah cermin yang paling buruk. Mungkin ia ingin menyindir realitas
bahwa kultur para bawahan ---terutama di negeri ini, adalah berbuat dan bekerja
hanya untuk menyenangkan para pemimpin atau atasan mereka – asal bapak senang
(ABS). Namun disisi lain, ia menegaskan melalui bawahanlah seorang pemimpin
dapat dibuktikan mengenai keberhasilan dan kegagalannya. Melalui bawahan pula,
seorang pemimpin dapat mengetahui dengan pasti dan mengukur dengan tepat
efektivitas kebijakan dan langkah-langkah yang diambilnya. Atas dasar tersebut
bercermin kepada bawahan bagi seorang pemimpin, adalah hal yang mutlak.
Sebab, sebagaimana dikatakan Collin Powell, mantan Menlu AS, dalam The
Secret Leadership of Collin Powell: “Ketika para prajurit tidak lagi membawa
masalahnya kepada anda, anda telah berhenti memimpin mereka. Mereka mungkin
telah kehilangan keyakinan bahwa anda dapat membantu mereka. Atau
berkesimpulan bahwa anda tidak peduli pada mereka. Dan kedua-duanya adalah
merupakan kegagalan kepemimpinan.”
Seseorang yang berusaha meyakini
hal tersebut adalah mantan Presiden Gerald Ford. Ketika menduduki Gedung Putih
ia melakukan tradisi yang unik bagi seorang pemimpin, yakni pada pekan ketiga
setiap bulan sepanjang masa jabatannya, dia mengundang kawan-kawan dekat dan
bawahannya untuk bertemu. Merekalah penasihat sekaligus pengeritik saya yang
paling jujur, kata Ford, melukiskan tentang tamunya tersebut. Di hadapan
kawan-kawan dekat, terutama kawan-kawan masa kecil dan masa remaja, kita dapat
memperoleh nasihat paling berharga sebab mereka tak akan segan-segan menganggap
kita bodoh, seperti pada masa-masa pertumbuhan itu, tambahnya.
Cermin ketiga bagi seorang
pemimpin, adalah sahabat. Microsoft adalah salah satu yang dapat menjadi
contoh. Sejarah Microsoft adalah buah dari sebuah ikatan persahabatan. Antara
seorang Bill Gates dengan Paul Allen sejak mereka masih sekolah menengah.
Sebagai seorang mahasiswa matematika di Harvard, Gates tetap berkorespondensi
dengan sahabatnya Allen di Stanford University dan saling berkirim-kiriman
kliping majalah komputer. Yang pada akhirnya keduanya sepakat untuk mendirikan
Microsoft di tahun 1975. Dan ketika kemudian Microsoft tiba pada puncak
kejayaannya, kedua sahabat ini masih saling bahu membahu. Seperti telah di
ketahui, Gates akhirnya mundur dari posisi CEO dan lebih berkonsentrasi pada
dunia riset, sedang kendali Microsoft kemudian diserahkan kepada sang sahabat
Allen. Diantara kedua pemimpin bisnis raksasa ini ternyata tersimpul tali
persahabatan yang saling bersinergi dan saling melengkapi. Seorang pemimpin
memang seyogyanya memiliki sahabat-sahabat dekat.
***
Dalam konteks Provinsi Kepulauan Riau, analisa dan paparan diatas dapat
menjadi sebuah paradigma dalam upaya kita mencari sosok pemimpin baik di KNPI
maupun Kepala Daerah atau bahkan dalam setiap jenjang kepemimpinan apapun.
Sebab dengan melakukan studi kepemimpinan maka kita akan mendapatkan data dan
fakta tentang sosok yang layak untuk di pilih dalam ajang pemilihan pemimpin
tersebut. Sekaranglah saatnya memilih pemimpin dengan jernih, mengedepankan
nurani dan rasional kita, jangan sampai perasaan rugi dan menyesal datang di
kemudian hari. Sekaranglah
saatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar