Demonstrasi menentang kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) masih terjadi dimana-mana. Tuntutannya satu, turunkan harga BBM. Reaksi serupa juga terjadi di Senayan.
Kendati para wakil rakyat, sesuai dengan posisi politiknya, masih berbeda
pendapat. Namun lima fraksi dengan tegas menyatakan menolak langkah pemerintah
ini. Boleh dikatakan kebijakan ini memang kontroversial, sebab mengundang pro
dan kontra yang sangat tajam. Sampai kapan aksi-aksi demo itu akan berjalan?
Apakah ada kecenderungan membesar atau akan mereda dengan sendirinya. Lalu
bagaimana kelanjutan proses politik di DPR dengan adanya usulan penggunaan hak
angket dan bahkan, kabarnya mulai bergulir wacana impeachment terhadap Presiden
Soesilo Bambang Yudoyono (SBY).
I don’t care
Mungkin ada yang berpikir biarkan saja aksi-aksi demo itu karena nanti akan
berhenti dengan sendirinya. Demikian juga persoalan politik di DPR karena
akhirnya akan dimenangkan oleh kelompok yang propemerintah. Bukankah ada Partai
Golkar, Partai Demokrat dan juga partai-partai lain yang sekarang berada di
belakang pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi persoalan ini tak boleh dianggap
enteng. Bukan tidak mungkin kekecewaan rakyat yang begitu mendalam akan
berdampak buruk dan berakumulasi.
Tiap tokoh memiliki ungkapan khas, demikian kata pakar politik UGM
Riswandha Imawan. Almarhum Adam Malik tersohor dengan ungkapan “semua bisa
diatur.” Almarhum pelawak Gepeng kondang dengan “Untung ada saya.” Sedang
mantan Presiden Gus Dur populer karena “Gitu aja koq repot.” Sekarang,
selorohan “I don’t care” (saya tidak peduli) lekat dengan sosok Presiden SBY.
Memang, Presiden SBY sudah menyatakan siap tidak populer ketika mengambil
kebijakan menaikan harga BBM. Kebijakan ini, kata SBY, ibarat sebuah pil pahit
yang akan menyelamatkan ekonomi bangsa ini. Dan saya siap tidak populer. Akan
tetapi bukan lantas menutup mata dan telinga atas munculnya berbagai aspirasi
dan gejolak di masyarakat. Penting untuk mencari titik temu dalam menanggapi
aspirasi-aspirasi tersebut.
Rakyat Miskin Bertambah
Freedom Institute, pada 26 Februari 2005, memasang iklan di sebuah harian
surat kabar terkemuka dengan titel Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi
BBM?. Pada iklan yang didukung 36 tokoh intelektual tersebut, disebutkan
berdasarkan penelitian LPEM UI, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen akan
mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 2,18 persen. Namun data ini
terbantahkan oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Data terakhir BPS menyebutkan, penduduk miskin di Indonesia jumlahnya
mencapai 40 juta orang, naik 2% dibanding tahun lalu. Data BPS ini ternyata berseberangan dengan
LPEM UI. Tegasnya, kenaikan harga BBM bukannya mengurangi penduduk miskin tetapi
justru menambah jumlah penduduk miskin. Berdasar data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran Rp 122.755 per
kapita berjumlah 36,14 juta orang (16,66 persen). Sementara penduduk yang sedikit di atas garis kemiskinan
22 juta orang. (Suara Merdeka, 14/03)
Hasil penelitian BPS, setelah mendapat kucuran kompensasi dana BBM, rakyat
miskin jumlahnya bisa berkurang dua persen. Tetapi dari mereka yang rentan
miskin menjadi miskin betulan mencapai empat persen. Dengan begitu kenaikan BBM
akan menambah jumlah orang miskin dua persen. Perhitungannya, akibat kenaikan
BBM maka inflasi akan mencapai delapan hingga sembilan persen. Elastisitas
inflasi terhadap garis kemiskinan sebesar 1,3 persen, berarti jika harga naik 10
persen, garis kemiskinan akan naik 13 persen.
Berdasarkan perhitungan itu, garis kemiskinan pada 2005 bisa sekitar Rp
140.000 per kapita. Kenaikan garis kemiskinan inilah yang akan membengkakkan
jumlah orang miskin. Apalagi data Susenas juga membuktikan program
pemberantasan kemiskinan tidak berjalan dengan baik. Terbukti rakyat miskin
yang mendapatkan kartu sehat hanya 26,53 persen, beasiswa 33,34 persen, beras
untuk rakyat miskin 25,93 persen, kredit usaha di bawah Rp 10 juta cuma 9,89
persen. Kalaupun dana kompensasi tersalurkan secara sempurna, menurut studi
dari IPB, hasilnya tidak banyak berarti untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kenapa? Karena daya
beli rakyat hanya meningkat 0,6 persen, sementara inflasi akibat BBM naik 2,8
persen sampai 3,02 persen.
Dana kompensasi BBM, menurut iklan layanan masyarakat yang dipersembahkan
Departeman Komunikasi dan Informatika menyebutkan, Rp 5,6 triliun, disalurkan
untuk beasiswa 9,6 juta siswa miskin. Kemudian, Rp 5,4 triliun untuk subsidi
beras bagi 8,6 juta keluarga miskin, Rp 3,3 triliun untuk dana bantuan bagi
11.000 lebih desa tertinggal dan Rp 2,1 triliun untuk pengobatan gratis bagi 36
juta rakyat miskin. Namun kenyataannya, dana kompensasi BBM yang katanya akan
dinikmati oleh puluhan juta rakyat miskin tersebut, hingga hari ke 15 pasca
kenaikan harga BBM, belum ada tanda-tanda dana itu disalurkan.
Inilah realitanya, dampak yang timbul dari kebijakan kenaikan harga BBM
yang umurnya belum sampai satu bulan. Sebuah pilihan yang telah diambil Presiden
SBY, sampai-sampai dia siap untuk tidak populer. Seharusnya SBY tidak boleh
menyatakan: “I don’t care with my popularity” sebab dia terpilih adalah karena
popularitasnya. Bukan karena pengetahuan masyarakat tentang kapasitas dan
kapabilitasnya menjalankan mesin pemerintahan. Sikap semacam ini sangat
kontraproduktif sebab bisa menyulut penolakan yang makin keras terhadap
langkah-langkah kebijakan yang diambilnya. Bukan mustahil SBY dinilai
masyarakat sesungguhnya ingin menyatakan “I don’t care with my people.” Semoga SBY sadar akan hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar