Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 65,
menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilaksanakan melalui tahap
persiapan dan pelaksanaan. Dalam tahap persiapan, salah satu yang harus dilalui
adalah perekrutan dan pembentukan Panitia Pengawas (panwas) pilkada.
DPRD dan Pembentukan Panwas
Pilkada
Pasal 42 (huruf i) UU Nomor 32 Tahun 2004, tertera bahwa Panitia Pengawas
(panwas) pilkada dibentuk oleh DPRD. Hal ini berbeda dengan panwas menurut UU
Nomor 12 dan 23 Tahun 2003 yang dibentuk oleh panwas di atasnya. Sejalan dengan
itu, DPRD Provinsi Kepulauan Riau sejak 9 April 2005 melakukan proses
perekrutan anggota panwas pilkada ini.
Panwas pilkada, sebagaimana UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat (4),
mempunyai tugas dan wewenang: (i) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan
pilkada; (ii) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
pilkada; (iii) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pilkada; (iv)
meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi
yang berwenang; dan (v) mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawas
pada semua tingkatan. Selain itu, pasal 109 ayat (3) PP Nomor 6 tahun 2005
menegaskan bahwa panwas pilkada berkewajiban untuk: (a) memperlakukan pasangan
calon secara adil dan setara, (b) melakukan pengawasan secara aktif, (c)
meneruskan temuan dan laporan yang berupa pelanggaran ke pihak yang berwenang,
dan (d) menyampaikan laporan atas pelaksanaan tugas kepada DPRD.
Dalam konteks ini, hal pertama yang harus dilakukan DPRD adalah menyusun
kerangka atau postur organisasi panwas yang ideal sesuai tugas, wewenang dan
kewajibannya. Sebab bagi panwas pilkada, paling tidak terdapat tiga pola
hubungan kerja, demikian menurut Nur Hidayat Sardini, mantan Ketua Panwas
Pemilu 2004 Jawa Tengah.
Pertama, pola hubungan secara vertikal, wajib kiranya DPRD menyusun bentuk
dan format laporan pertanggungjawaban panwas. Dan pertanggungjawaban tersebut
setidaknya melingkupi administratif, penggunaan anggaran, laporan periodik yang
ditentukan durasi waktunya serta pertanggungjawaban pada akhir tugas.
Kedua, pola horizontal. Dalam konteks ini, panwas harus mempunyai format
koordinasi yang baik dengan KPUD sebagai penyelenggaran pilkada, dalam
mengatasi persengketaan, pelanggaran administratif. Dan juga koordinasi dengan Polri dan Kejaksaan
dalam rangka penanganan pelanggaran kategori pidana.
Ketiga, pola supervisi dan inspeksi. Dalam pola ini menyangkut kewajiban
Panwas Provinsi kepada Panwas Kabupaten/Kota dan Kecamatan yang dibentuknya.
Sejauhmana batasan dan lingkup supervisi dan inspeksi Panwas Provinsi, juga apa
dan bagaimana urgensitasnya. Hal ikhwal semacam ini harus secara tegas disebut
dalam kerangka dan postur panwas yang hendak dibentuk DPRD itu.
Kemudian yang tidak kalah penting untuk dilakukan DPRD adalah menyusun
organisasi dan keanggotaan panwas. Dalam pilkada langsung provinsi, maka
susunan organisasi panwas terdiri atas Panwas Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota
dan Panwas Kecamatan (sesuai PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 106, ayat (2)).
Sementara untuk susunan keanggotaan panwas terdiri atas ketua, wakil ketua, dan
anggota. Dan sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 57, ayat (3)
dan PP No. 6 Tahun 2005, pasal 106, ayat (4) menyebutkan bahwa keanggotaan
panwas berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh
masyarakat, dan pers. Dalam susunan keanggotaan ini, yang tidak boleh diabaikan
pula adalah peran sekretariat panwas, berikut penganggarannya.
Peran Strategis Panwas
Pilkada
Bila mengacu pada tugas, wewenang, dan kewajiban panwas pilkada seperti
yang diamanatkan produk hukum di atas, maka terbayang secara jelas dan tegas
bahwa panwas pilkada memiliki peran yang sangat strategis dalam mengawal
pelaksanaan pilkada. Pekerjaan panwas pilkada akan bersentuhan secara langsung
kepada instansi penegak hukum. Pada UU No 32 Tahun 2004 terdapat ketentuan
pidana yang jelas-jelas menyebut ketentuan Pilkada langsung. Namun, detailnya
lingkup penanganan pidana belum jelas. Artinya, bagaimana kedudukan, tugas dan wewenang,
di antara Panwas, penyidik, dan penuntut, perlu dijelaskan lagi. Bagaimana
format pelaporannya, tata cara penanganan berkas yang sudah masuk ke penyidik.
Yang penting pula untuk dikemukakan adalah bagaimana jika terjadi perbedaan
langkah di antara Panwas/penyidik/penuntut di antara kabupaten/kota dengan
Panwas/penyidik/penuntut lainnya. Persoalan-persoalan itu merupakan keniscayaan
bagi DPRD untuk menyusunnya.
Terakhir yang perlu ditentukan DPRD adalah uraian tugas (job description)
di antara berbagai elemen yang terlibat dalam pilkada langsung. Dalam deskripsi
tugas itu kiranya DPRD wajib mengalokasikan deskripsi kedudukan, fungsi, tugas,
kewajiban, dan wewenang panwas, selain berbagai lembaga yang terlibat.
Penulis melihat bahwa politik hukum UU No 32 Tahun 2004 adalah politik
desentralisasi, dan DPRD diserahi tugas sebagai penanggung jawabnya --selain
KPUD sebagai penyelenggara teknis. Oleh karena itu, sebagai pemangku dan
pemilik sumber otoritas Pilkada, DPRD dituntut pula garis besar penanganan
(policy) politik Pilkada langsung. Maka lucu jika peran DPRD sebagai sumber
otoritas Pilkada namun tidak menyertakan grand design pelaksanaannya. Namun, justru
karena posisinya itu, seyogyanya DPRD juga harus membuat batasan kedudukan,
fungsi, tugas, kewajiban, dan wewenang dirinya ketika berhadapan dengan KPUD,
Panwas, Polri dan Kejaksaan, dan lain-lain pihak. Penulis melihat peluang
terjadinya kericuhan pada Pilkada langsung kali ini salah satunya bersumber
dari ketidakjelasan relasi DPRD dengan banyak pihak, terutama dengan
lembaga-lembaga teknis penyelenggara.
Sedikit saja persoalan yang kemudian mengemuka, publik akan segera menuduh
ketidakbecusan DPRD. Untuk itu cara paling aman bagi DPRD adalah menyusun
batasan uraian tugas yang justru dibuatnya sendiri.
Untuk itu dalam merekrut Panwas Pilkada, seyogianya DPRD tetap berpegang
teguh pada prinsip Good Corporate Governance (transparancy, accountability,
responsibility, independency, dan fairness). Sejauhmana prinsip itu akan
dijalankan dengan konsisten, akan terlihat pada saat DPRD mengimplementasikan
kelima prinsip tersebut pada saat mengelola tata cara seleksi dan penetapan
keanggotaan Panwas. Untuk itu, sekali lagi, sebaiknya DPRD menyusun pedoman
pemilihan Panwas Pilkada langsung, yang dapat dijadikan acuan banyak pihak.
Dalam pedoman semacam itu, beberapa ikhwal harus dimuat. Pertama, pengertian
umum dan latar belakang Pilkada langsung. Kedua, jumlah dan komposisi
anggota Panwas Pilkada. Ketiga, persyaratan calon anggota Panwas. Keempat,
pengajuan calon anggota Panwas Pilkada. Kelima, mekanisme seleksi calon anggota
Panwas Pilkada. Dan ini bisa dimulai
dari pembentukan tim seleksi terlebih dahulu. Keenam, pelaksanaan uji kepatutan
dan kelayakan (fit and proper test), yang idealnya bisa diikuti khalayak ramai.
Ketujuh, penetapan dan
pelantikan anggota Panwas.
Momentum Pilkada langsung akan diefektifkan sebaik mungkin oleh semua
pihak, baik yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Bertemunya
banyak pihak dalam upaya memperebutkan terbatasnya sumber-sumber daya politik
di tingkat lokal, dapat menciptakan gesekan di antara pihak itu. Di situlah
sesungguhnya Pilkada langsung sering disebut-sebut sarat dengan potensi konflik
itu, dan dalam kondisi seperti ini panwas pilkada dinantikan peranannya.
Namun yang perlu diingat, karena yang membentuk panwas adalah DPRD maka
apabila ternyata anggota panwas kurang berkualitas, maka publik akan segera
menuduh ini buah dari ketidakbecusan DPRD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar