KALAU tidak ada perubahan, bulan Juni 2014 bangsa Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Presiden (Pilpres). Saat ini telah muncul berbagai nama yang digadang-gadang akan maju sebagai calon presiden. Anies Baswedan, Anis Matta, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Jokowi dan beberapa nama lainnya.
Pemilihan presiden pada hakikatnya adalah memilih pemimpin yang terbaik bagi negeri ini. Pemimpin yang mampu memajukan dan mensejahterakan. Ia sangat dibutuhkan, baik untuk menjawab persoalan yang sedang dihadapi maupun tantangan ke depan yang semakin berat. Dengan beragamnya persoalan dan tantangan, tentu hal itu membutuhkan kemampuan yang handal, di samping kewibawaan yang terlahir dari keteladanan dan kejujuran pribadi, serta didukung dengan tingginya tingkat kepercayaan (legitimasi) masyarakatnya. Pemimpin harus memenuhi kriteria yang standar, bahkan dituntut untuk dapat lebih ideal.
Kriteria Memilih Pemimpin
Pemimpin ideal, adalah harapan bersama. Namun figur seperti itu tidaklah mudah. Masyarakat sebagai pemilih sangat menentukan dan memegang peranan penting. Ada beberapa kriteria, yang dapat jadi pedoman dalam menentukan pilihan.
Riswandha Imawan dalam bukunya Membedah Politik Orde Baru (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1997), mengutip pendapat Titus (1986) menjelaskan bahwa ada enam kriteria yang harus dipenuhi seorang pemimpin, yakni kapasitas intelektual (intellectual capacity); kepercayaan diri (selfsignificance); daya tahan (vitality); pelatihan (training); pengalaman (experience); dan reputasi (reputation). Keenam kriteria itu menentukan persepsi seseorang terhadap masalah sosial yang dihadapi, kemampuan untuk merumuskan secara jelas pemikiran yang bersifat abstrak, dan stabilitas emosionalnya.
Kapasitas intelektual yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi kemampuan daya analisisnya. Semakin tinggi akan membuat seseorang semakin percaya dan yakin pada dirinya, sehingga semakin perasa bahwa dirinya penting. Lebih lanjut ia mengatakan meskipun mempengaruhi, ketajaman analisis, tidak sepenuhnya ditentukan oleh banyaknya pendidikan formal yang ditempuh, atau bukan oleh sederetan gelar yang dimiliki. Ketajaman ini bisa didapat melalui serangkaian pelatihan, kemauan seseorang untuk terlibat dalam kehidupan sosial, bersedia bertukar pikiran dengan terbuka sekali pun dengan yang berbeda pendapat. Di sini kriteria kestabilan emosi dan vitalitas seseorang pemimpin sangat menentukan.
Disamping kriteria diatas, mengutip pendapat Segiovanni den Corbally (1986), menyebutkan bahwa hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh masyarakat (pemilih) dalam menentukan pilihannya adalah: popularitas (popularity); akseptabilitas (acceptability); dan kapabilitas (capability).
Hal ini dikarenakan, popularitas menunjuk kepada hal dikenal atau tidaknya seseorang calon oleh masyarakat dan popularitas ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik yang rasional maupun tidak masuk akal. Sedang akseptabilitas menggambarkan pada penerimaan masyarakat terhadap seorang calon ini akan timbul apabila rakyat merasa bahwa calon adalah orang yang benar-benar dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka.
Kemudian kapabilitas menunjukkan kepada kemampuan intelektual seorang calon. Kemampuan untuk menyerap aspirasi rakyat, merumuskan aspirasi ke dalam bentuk pernyataan atau kebijakan yang jelas, dan menyampaikan kepada rakyat dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Diluar sejumlah kriteria yang disebutkan diatas, masih ada beberapa kriteria lain. Hal ini merujuk pada pendapat Dadang Hawari, dalam bukunya IQ,EQ,CQ, & SQ: Kriteria SDM Pemimpin Berkualitas (FK-UI, 2003), bahwa pemimpin haruslah berkualitas dan memenuhi kriteria kecerdasan intelektual (IQ/Intelligent Quotient); kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotien); kecerdasan kreatifitas (CQ/Creativity Quotient); dan kecerdasan spiritual (SQ/Spritual Quotietn). Dan keempat hal tersebut haruslah merupakan suatu kesatuan dan terintegrasi pada diri seseorang pemimpin.
Lebih lanjut Dadang Hawari menjelaskan, guna mendapatkan tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi, seseorang haruslah memperoleh pendidikan sejak dini. Melalui proses pendidikan inilah IQ seseorang dapat berkembang.
Sedangkan seorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah yang mampu mengendalikan diri, sabar, tekun, tidak emosional, tidak reaktif, serta senantiasa positive thinking. Di samping itu dalam kepemimpinannya, ia tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, lebih mengutamakan rasio daripada emosi, tidak merasa dirinya paling pandai dan paling benar, serta tawadlu (rendah hati).
Kemudian, kecerdasan kreatifitas bagi seseorang pemimpin adalah pemimpin yang kreatif, mampu mencari dan menciptakan terobosan-terobosan dalam mengatasi berbagai kendala atau permasalahan yang muncul. Tipe pemimpin dengan CQ yang tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam upaya meningkatkan daya saing di era globalisasi. Ia bersikap dinamis, fleksibel, komunikatif, dan aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri, selalu menginginkan perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Dan yang tak kalah pentingnya adalah SDM pemimpin dengan tingkat kecerdasan spritual yang tinggi, yaitu pemimpin yang tidak sekadar beragama, tetapi terutama beriman dan bertakwa.
Seorang pemimpin yang beriman adalah yang percaya bahwa Tuhan itu ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa-apa yang diucapkan, diperbuat bahkan isi hati atau niat manusia. Pemimpin dapat membohongi rakyatnya, tapi tidak dapat membohongi Tuhannya. Tipe kepemimpinan seperti ini jauh dari melakukan perbuatan korupsi.
Dan sebaliknya, dengan keberimanannya itu pula, ia menjadi orang yang paling tegas memberantas korupsi tersebut. Bahwa sebagaimana disebutkan dalam UU No 32 Tahun 2004, syarat pertama dari calon kepala daerah adalah ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Syarat yang tercantum pada pasal 58 ini erat kaitannya dengan keharusan bersih diri dari perbuatan korupsi. Persyaratan ketakwaan yang menuntut bersih korupsi ini harus dipertamakan dari awal pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, agar tidak menimbulkan persoalan korupsi yang serius dikemudian hari.
Pemimpin adalah Melayani
Seorang pemimpin yang memiliki kriteria diatas atau setidaknya mendekati, akan memiliki kesadaran bahwa menjadi pemimpin adalah amanat. Maka kekuasaan yang ada pada dirinya tidak dipergunakan untuk gagah-gagahan tetapi untuk mengabdi dan menjalankan tugas. Pemimpin berkewajiban untuk melayani bukan minta dilayani. Hal ini sesuai dengan pesan kenabian “Sayyid al qaum khadimuhum”, yakni “Pemimpin umat adalah pelayan mereka”, (Hidayat Nur Wahid, 2003).
Berkenaan dengan soal kepemimpinan ini, menarik untuk mencermati pidato politik Abu Bakar Sidhiq, khalifah pertama dalam sejarah Islam, saat dirinya dinobatkan sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah Muhammad SAW. Dalam pidatonya, beliau mengatakan, ''Wahai sekalian manusia, sekarang aku telah kalian angkat untuk memegang urusan kalian ini, padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Karenanya, jika aku berjalan di atas kebenaran dan keadilan, maka dukunglah aku. Sebaliknya, jika aku menyimpang dari jalan kebenaran dan keadilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar perintah-Nya dan tidak menjalankan sunah Rasul-Nya, maka janganlah kalian mengikuti aku.''
Pidato ini, menurut Taufik Effendi (2005) memberi pemahaman kepada kita bahwa pemimpin harus mempunyai kepribadian jujur dan komitmen (sidiq), dapat dipercaya dan bertanggung jawab (amanah), cerdas serta memiliki kepekaan yang tinggi (fatonah), dan mau membuka ruang dialog dengan rakyatnya (tabliq). Atau, seorang pemimpin wajib memiliki keyakinan dan komitmen (conviction), mempunyai kejujuran dan konsisten (character), berani dan bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuat (courage), mempunyai ketenangan jiwa serta keteduhan batin (composure), dan ahli serta profesional (competence). Tanpa ini semua, pemimpin yang hadir di tengah-tengah rakyat hanya akan melahirkan kehancuran bukan kejayaan yang diharapkan.
Catatan Akhir
Seorang pemimpin ibarat seekor burung garuda. Mampu terbang tinggi di udara dan dengan kepaknya sanggup memberikan dorongan maupun rangsangan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga mereka menjadi kreatif, inovatif, dan memiliki semangat dan ketahanan hidup (survive). Dengan kata lain, seorang pemimpin harus berkepribadian--meminjam istilah Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Yaitu tatkala berada di barisan depan mampu memberikan tauladan, saat berada di tengah sanggup memotivasi, dan di kala berada di belakang mampu membangkitkan daya dorong (motivasi).
Dibutuhkan kecermatan dalam memilih pemimpin. Seorang pemimpin hendaknya dipilih karena berbagai pertimbangan yang komprehensif, bukan semata karena faktor popularitas semata. Atau karena ikatan emosional membabi-buta : jurus pokok'e (asalkan si dia), hidup mati ikut pak anu, dan sebagainya.
Mengingat peran pemimpin sangat vital, yaitu sebagai nahkoda kapal rakyat yang sedang berlabuh di samudra luas menuju pelabuhan cita-citanya; hidup berkeadilan dan berkemakmuran. Namun demikian, kesemuanya berpulang kepada kemauan dan keputusan kita, masyarakat pemilih; apakah akan mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai demokrasi atau merubah demokrasi menjadi otokrasi. Untuk itu eling lan waspodo, hati-hati dan waspada, adalah sikap terbaik dalam memilih pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar