Sebuah peta perlayaran VOC tahun 1675 yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, mencantum pulau Batam dengan nama pulau Batang yang di sandingkan dengan pulau Bintang (Bintan). Fakta ini memberi jawab, bahwa kota Batam sudah boleh dikatakan sebagai kota tua, kota yang sudah melewati rentetan sejarah yang panjang sehingga terserlah menjadi sebuah kota yang maju sampai saat ini.
Persoalannya sekarang, sudah berapakah usia kota Batam? Kami yakin tak seorang pun yang mampu memberikan jawaban dengan menyebutkan hari, tanggal, bulan dan tahun, lahirnya setepat sebuah perhitungan matematis. Namun demikian, usia itu harus ditemukan, agar kota ini tegak pada sebuah pondasi historis kokoh yang berpunca dari perjalanan sejarahnya. Kunci persoalan ini terletak pada pencarian hari jadi, sehingga Batam (menjamin ungkapan Bung Taufik Muntasir )” tua tanpa usia”.
Hari jadi sebuah kota lazimnya adalah sesuatu yang dicari dan ditemukan di antara sejumlah momentum penting dalam perjalanan sejarah kota tersebut, sampai berkembang menjadi sebuah kota yang modern. Hari jadi itu kemudian diterima sebagai sebuah ”kesepakatan”, selanjutnya dipilih dan ditetapkan sebagai sebuah momentum hari jadi.
Jika demikian persoalan, lantas kapan hari jadi Batam? Terus terang kami tak mampu menjawabnya. Namun, pada tahun 2006, Walikota Batam, Drs Ahmad Dahlan memfasilitasi kami menelusuri sejarah Batam dari bahan-bahan arsip dan sumber-sumber sejarah Batam. Di sini kami dapat mengemukakan berapa tanggal, bulan, dan tahun momentum penting dalam perjalanan sejarah Batam setelah Trakat London Tahun 1824.
18 Desember 1829
Peristiwa pengukuhan Raja Isa yang memegang perintah daerah Nongsa dan rantau taklukannya atas nama Sultan Abdulrahman Syah Lingga-Riau (1812-1832) dan yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar (1808-1832), ditandai dengan surat “pengukuhan” yang di keluarkan oleh Resident Riouw Letnan Kolonel Cornelis P.J.Elout pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1245 hijriyah yang bersamaan dengan hari Sabtu 18 Desember 1829 miladiyah.
Raja Isa adalah penanda awal pemerintahan pribumi di pulau Batam, setelah penataan kembali kerajaan Lingga-Riau menyusul traktat London 1824- yang kemudian diwariskan secara turun temurun kepada anak dan cucunya. Siapakah Raja Isa? Ayahnya adalah Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V ibni Daeng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III ibni Daeng Perani @ Marhum Pulau Bayan.
Sumber lisan dan sebuah silsilah di pulau Penyengat menyebutkan Raja Isa sebagai seorang tokoh yang membuka sebuah kampung baru di pulau Batam yang kini dikenal dengan nama Nongsa. Bahkan sumber-sumber lisan yang berkembang di pulau Penyengat tersebut menyebutkan toponim nama Nongsa berasal dari nama timang-timangan Raja Isa sebagai putera Tertua Raja Ali Marhum pulau Bayan: Nong Isa.
Barangkali oleh karena diucapkan oleh lidah yang tidak tunggal-asal, maka perlahan-lahan nama kampung baru tempat tinggal Raja Isa di pulau Batam dikenal dengan nama Nongsa, ketika seseorang menjelaskan bahwa ia akan pergi ke kampung tempat tinggal Raja Isa di pulau Batam.
Sebuah sumber Belanda yang ditulis pada tahun 1833, menyebutkan bahwa Raja Isa pernah tinggal pada sebuah kampung di pulau Nongsa (pulau terbesar dari dua pulau yang kini terdapat di seberang kampung Nongsa sekarang) ketika usia nya 50 tahun.
Setelah Raja Isa wafat, pemerintahan atas Nongsa dan kawasan sekitarnya di wariskan kepada puteranya yang bernama Raja Yakup Bin Raja Isa dengan pangkat atau gelaran wakil yang mengepalai daerah wakilschap Nongsa dan langsung berada di bawah kendali yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf di Pulau Penyengat.
Dan ketika usia Raja Yakup telah lanjut, maka jabatan wakil itupun diserahkan pula kepada puteranya yang bernama Raja Mohammad Caleh (Saleh) bin Raja Yakup. Kemudian pada saat dilakukan reorganisasi jawatan wakil-wakil dan para Amir dalam pemerintahan kerajaan Riau-Lingga, pada tahun1895, maka putera Raja Yakup dan cucu Raja Isa diangkat sebagai wakil kerajaan Riau-Lingga yang berpangkat Kepala di Nongsa.
9 September 1803
9 September 1803
Peristiwa “Perdamaian Kuala Bulang” terjadi di atas perahu Engku Busu yang berlabuh di Kuala Pulau Bulang. Sebuah naskah Kuno yang berjudul Sejarah Raja-Raja Riau, menyebutkan bahwa “Perdamaian Kuala Bulang“ terjadi pada hari Senin 16 Jumadil Awal 1218 Hijriyah atau bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 9 September 1803.
Perdamaian ini menandai berakhirnya pertelagahan antara Puak Bugis yang dipimpin oleh Raja Ali Ibni Daeng Kamboja dan Engku Karaeng Talibak dengan pihak Melayu di bawah Engku Muda Muhammad ibni Temenggong Abdul Jamal sesuai titah Sultan Mahmmud yang menunjukkan nya sebagai Stedehouder (wakil atau wali) Sultan Mahmud yang telah menetap di Lingga, karena Raja Ali yang menggantikan Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau menyingkir ke Sukadana dan terakhir ke Muar.
Dalam Sejarah Raja-Raja Riau, peristiwa ” Perdamaian Kuala Bulang ” tersebut di lukiskan sebagai berikut: “Hijrat al-Nabi Salallah’Alaihi Wassalam sanah 1218 tahun kepada tahun dal akhir kepada enam belas hari bulan jumadil Awal hari isnin waktu Zohor dewasa itulah Yang Dipertuan Muda Raja’Ali berdamai dengan Engku Muda dengan titah duli Yang Dipertuan Besar di perahu Engku Busu di Kala Bulang. Setelah sudah berjumpa dengan Yang Dipertuan Muda dengan Engku Muda dihadapan Engku Busu maka Yang Dipertuan Muda dan Engku Muda serta Engku Busu pun beramai2 dengan Bugis dan Melayu menghadap kebawah duli Yang Dipertuan Besar Yang Maha Mulia serta Yang Dipertuan Muda Bersumpah.
Maka di dalam sumpahnya sekali-kali tiada patik berniat khianat pada kebawah duli tuan ku serta dengan saudara patik seklian. Jikalau ada patik berniat khianat pada kebawah duli Tuanku serta saudara patik sekalian, dikutuki Allah dan Rasulnya atas Patik. Tiada selamat dunia akhirat hingga sampailah kepada anak cucu patik sekalian. Maka titah duli Yang Dipertuan Besar pun demikian juga. Sekali-kali tiada kita berniat khianat akan Raja Muda adanya. Jikalau Khianat Bugis kepada Melayu dibinasakan Allah dan Rasul nya.”
1 dan 2 Oktober 1895
Antara tahun 1895 hingga tahun 1897, Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi melakukan “Resufle” besar-besaran terhadap jabatan wakil-wakilnya yang berada disejumlah daerah dalam wilayah kerajaan Riau-Lingga. Perombakan ini dilakukan menyusul dikeluarkannya Undang-Undang Qanun yang terpakai oleh Kepala-Kepala Yang Besar Pangkat Kecil dan Besar yang Menjaga Negeri dalam Kerajaan Lingga-Riau dan takluknya pada tahun 1313 hijriyah yang bersamaan dengan 1895 miladiyah.
Sebagai daerah tempat kedudukan wakil kerajan Lingga-Riau, maka Batam yang sebelumnya dibagi ke dalam tiga daerah wakilschap, ditata menjadi dua wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang yang berpangkat atau bergelar Amir dan seorang Kepala sebagai struktur terendah dalam sistem Pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga.
Sebagai Amir pertama untuk pulau Batam, diangkatlah Tengku Umar Bin Tengku Mahmud berkedudukan di Batam berdasarkan besluit (surat keputusan) kerajaan Riau-Lingga No 12, hari Selasa tanggal 12 Rabi’ul-akhir 1313 hijriyah yang bersamaan dengan hari Rabu tanggal 02 Oktober 1895. Sedangkan di daerah Nongsa diangkatlah Raja Mahmud bin Raja Yakup sebagai wakil kerajaan berpangkat Kepala berdasarkan besluit kerajaan Riau-Lingga No 09 tanggal 11 Rabi’ul-akhir 1313 hijriyah yang bersamaan dengan hari Selasa tanggal 01 Oktober 1895 miladiyah.
Batam Brick Work
Data terbaru yang kami temukan menyebutkan Raja Ali Kelana membeli sebuah pabrik batu bata bernama “Batam Brickworks“ yang berlokasi di kawasan Batu Haji pada tahun 1896, dari kawan usahanya seorang China Singapura bernama Sam Ong Leong.
Di tangan Raja Ali Kelana, Pabrik penghasil batu bata dengan merek “BATAM“ yang hampir bangkrut ini, berhasil bangkit dan bahkan mampu mengangkat nama Batam sebagai penghasil batu bata yang bermutu di kawasan Selat Melaka. Dan secara historis, usaha keras Raja Ali Kelana ini dapatlah di lihat sebagai sebuah ‘pondasi historis‘ awal pengembangan industri oleh anak watan Riau-Lingga di pulau Batam.
Perkembangan pabrik batu bata Batam Brick Works semakin pesat setelah nama perusahaan yang berkantor pusat di Singapura muncul dalam Singapore Straits and Directory pada tahun 1901. Sejak saat itu Batam Brick Works semakin terkenal sebagai perusahaan penghasil batu bata bermutu yang terbesar di gugusan Kepulauan Riau-Lingga dan Negeri-negeri Selat. Mutu batu bata produksi Batam Brick Works kerap memenangkan sejumlah pertandingan kualitas dan mutu batu bata di Singapura, Semenanjung Melayu, dan Kawasan Timur Jauh. Bahkan karena mutu batu bata-nya, perusahaan ini pernah mendapatkan award (penghargaan) di Hanoi dan Pulau Pinang pada tahun 1907.
Aktivitas Batam Brick Works di bawah Raja Ali Kelana berakhir ketika ia memutuskan untuk menjual perusahaan itu kepada seorang pengusaha China di Singapura pemilik Sam Bee Brick Works, satu tahun menjelang pemakzulan Sultan Abdulrahman dan Tengku Besar kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1911.
Sekelumit kisah di atas, membuat kami tertegun, merenungi Batam dalam konstalasi politik hari ini. Apalagi, ketika ada orang yang berujar bahwa Batam dulunya pulau kosong. Persoalannya menjadi lain, ketika Pemerintah Kota Batam bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam sampai hari ini juga belum menetapkan hari jadi kota Batam. Padahal, seminar memperbincangkan hari jadi kota Batam ini sudah dua kali dilaksanakan. Selamat memperingati hari jadi Pemerintah Kota Batam ini!
Aswandi Syahri - Budayawan dan Sejarawan, Direktur Yayasan Khazanah Melayu- Kepri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar