Sejumlah daerah berlomba membuat festival tahunan untuk memperkenalkan budaya mereka. Banyak kalangan yang menilai parade budaya itu efektif untuk mempromosikan potensi pariwisata kepada turis domestik maupun mancanegara sekaligus menjadi identitas baru suatu kota.
Maraknya festival di Indonesia tidak hanya menghadirkan budaya dan kesenian, tetapi juga memperkenalkan sejumlah potensi di daerah. Pada akhir bulan lalu misalnya, Kota Solo Jawa Tengah menggelar Festival Payung Indonesia di Taman Balekambang. Festival ini direncanakan akan dilaksanakan secara berkala.
“Festival seperti ini baru pertama kali digelar di Indonesia. Ini merupakan hasil kreasi yang harus selalu dikembangkan. Harapannya, acara seperti ini bisa mendatangkan wisatawan, bahkan dari mancanegara,” ujar Menteri Pariwisata Arief Yahya saat membuka Festival Payung Indonesia 2014 tersebut (28/11).
Festival Payung merupakan salah satu festival yang digelar pemerintah daerah. Saat ini pemerintah pusat juga gencar mempromosikan festival untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia. Kementerian Pariwisata berusaha mengembangkan produk wisata unggulan yang terkait dengan kebudayaan (culture), alam (nature), dan keramahtamahan (hospitality).
Menurut hasil survei PES (passenger exit survey) 2013 yang dilakukan Pusdatin Kementerian Pariwisata, ada lima produk wisata yang mendorong wisman berkunjung ke Indonesia, yakni wisata belanja dan kuliner sebesar 80%, wisata religi dan heritage 80%, wisata bahari 35%, wisata MICE (M eeting, I ncentive, C onvention, and Exhibition) 25%, dan wisata olahraga 5%.
Survei ini memperlihatkan bahwa tradisi dan budaya mempunyai peranan penting dalam mendatangkan wisatawan. Salah satu bentuk wisata tradisi itu adalah pergelaran festival. Penulis buku 50 WisDom (Wisata Domestik) Indonesia Arif Firmansyah menyebutkan, secara umum festival yang berkembang di Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua hal. Pertama adalah festival yang sengaja diselenggarakan pemerintah setempat.
Sebelum diadakan pemerintah, masyarakat tidak mempraktikkan budaya yang ada dalam festival tersebut secara massal. Untuk kelompok ini dia mencontohkan festival gandrung di Banyuwangi atau Jember Fashion Carnival di Jember. Festival yang dibuat pemerintah ini cukup efektif untuk mempromosikan wisata di daerah tersebut dan minimal memperkenalkan keberadaan daerah.
Umumnya, festival yang idenya muncul dari pemerintah kurang berakar di masyarakat. Dia mencontohkan, Banyuwangi setiap tahun menggelar festi-val dengan tema yang berbeda. Festival ini terkesan seperti karnaval biasa yang diadakan pada 17 Agustusan. “Dari segi promosi daerah cukup efektif, tetapi masyarakat kurang menghayati atau memahami nilai-nilai dalam tradisi yang difestivalkan tersebut,” papar Arif kepada Koran Sindo.
Sementara itu kategori kedua adalah festival yang muncul dari masyarakat yang kemudian didukung pemerintah. Pemerintah membuat budaya atau tradisi yang sebenarnya setiap tahun diadakan masyarakat menjadi lebih meriah melalui sebuah festival. Arif mencontohkan Festival Balimau di Sumatera Barat yang merupakan kegiatan untuk memeriahkan tradisi mandi di sungai setiap menjelang bulan Ramadan.
Contoh lain adalah festival Cap Gomeh di Singkawang atau Festival Tabot di Bengkulu yang merupakan dua festival yang bermula dari keyakinan mereka. “Masyarakat akan mudah terlibat dalam festival tersebut karena merasa itu adalah bagian dari dirinya,” ujar pengelola situs wisata jelajah. travel tersebut.
Bali merupakan contoh nyata daerah yang penuh dengan festival yang muncul dari tradisi masyarakat setempat. Ngaben, tari kecak, hingga upacara keagamaan lain yang ada di Bali saat ini terbukti mampu melahirkan festival yang tidak terpisahkan dengan masyarakat. Festival yang tidak berjarak dengan masyarakat ini terbukti langgeng karena masyarakat terlibat aktif di dalamnya.
“Bahkan Bali pada awalnya tidak dikenal karena keindahan alamnya, tetapi karena budaya yang mereka lakukan dan mendapatkan perhatian besar dari wisatawan. Orang yang berjasa memperkenalkan Bali ke masyarakat adalah Miguel Covarrubias yang menerbitkan buku Island of Bali pada 1930-an silam yang berisi tentang tradisi Bali,” pungkas Arif.
Kini pemerintah dituntut untuk menggelar festival yang benar-benar muncul dari tradisi atau kehidupan sehari- hari masyarakat. Jika pelaksanaan festival bersifat top-down dikhawatirkan festival tersebut tidak akan berlanjut di kemudian hari. Selain itu, festival yang bersumber dari tradisi dan kehidupan masyarakat lebih mudah dipelihara.
Sumber : Sindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar