Sejarah pembangunan Batam berawal dari
kegiatan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN
Pertamina) pada tahun 1969 yang menjadikan Batam sebagai pangkalan logistik (logistic base) dan operasional yang
berhubungan dengan eksploitasi dan eksplorasi minyak lepas pantai.
Berdasar Kepres No. 41 Tahun 1973,
pembangunan Batam dipercayakan kepada Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam
(Otorita Batam). Dan pada tahun 1979, sesuai visi pemerintah untuk menjadikan
Batam sebagai daerah industri dengan memanfaatkan posisinya yang strategis,
maka disusunlah Master Plan (Rencana Kerangka Dasar Tata Ruang Pengembangan
Pulau Batam / RKDTR 1979) yaitu : “Tujuan pengembangan Pulau Batam adalah untuk
memanfaatkan letak strategis dari Pulau Batam dan keterbatasan daya dukung
Singapura didalam fungsinya sebagai pusat jasa distribusi wilayah Asia Pasifik
pada umumnya dan Asia Tenggara pada khususnya. Mengingat bahwa dalam bidang
pariwisata, industri dan perkapalan pada tahap sekarang, Singapura sudah hampir
jenuh maka Batam mempunyai relevansi yang tepat untuk dikembangkan pula dalam
menampung kegiatan-kegiatan tersebut.”
Dualisme Kewenangan Sumber Masalah
Seiring berjalannya waktu, Batam telah
tumbuh menjadi daerah industri dan perdagangan yang cukup diperhitungkan ditingkat
nasional maupun regional. Batam telah mampu
memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan angka pertumbuhan ekonomi
nasional. Pada tahun 2013, angka pertumbuhan ekonomi Batam mencapai 8,39 persen
dan berada di atas angka pertumbuhan rata-rata nasional. Namun disayangkan
angka tersebut lebih banyak disumbang oleh sektor konsumsi daripada sektor
produksi daerah (Faisal Basri, 2014).
Pernyataan ini didasari oleh data
statistik BPS mengenai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Batam yang
cenderung turun dari sisi produksi (ekspor) dan meningkat di sisi konsumsi
(impor). Artinya tujuan pemerintah terhadap tingginya nilai produktivitas
industri dan nilai ekspor sebagai tujuan dibentuknya Free Trade Zone (FTZ)
belum tercapai.
Sehingga signifikansi penerapan FTZ Batam
menuai kritik dari banyak pengamat dan ekonom.
Belum lagi dampak dijadikannya Batam
sebagai daerah FTZ telah memicu meningkatnya jumlah migrasi penduduk, sehingga saat
ini penduduk Batam telah tumbuh mencapai 1,2 juta jiwa. Menjadikan Batam
sebagai salah satu daerah dengan pertumbuhan penduduk terbesar di Indonesia,
sekitar 8 persen per tahun. Bila ini tak dikendalikan maka Batam akan
berpotensi mengalami masalah kependudukan dikemudian hari.
Juga persoalan-persoalan lain yang tak
kalah pentingnya untuk segera dicarikan solusinya, antara lain : tumbuhnya
angka pencari kerja (jumlah tenaga kerja), persoalan hubungan industrial, ketersediaan
air bersih dan listrik, pencemaran lingkungan, meningkatnya angka kriminalitas,
masalah sampah dan pengelolaannya, dan berbagai persoalan lainnya.
Seiring pelaksanaan otonomi daerah, Batam
telah berubah menjadi daerah otonom melalui UU Nomor 53 Tahun 1999, yang atas
nama dan perintah peraturan perundang-undangan Pemerintah Kota Batam memiliki
dan berwenang mengatur dan mengelola Kota Batam sebagai sebuah daerah otonom.
Dualisme kewenangan di Batam antara BP
Batam dan Pemerintah Kota Batam --sebagai konsekuensi dari peraturan
perundang-undangan --- telah memperumit penyelesaian berbagai permasalahan yang
tumbuh di Batam. Tumpang tindihnya kewenangan menjadikan kedua belah pihak sering
kali saling lempar tanggungjawab atas berbagai persoalan yang ada. Sehingga
bukannya menyelesaikan masalah, yang terjadi justru mempersulit permasalahan
yang ada.
Upaya Mencari Solusi
Kompleknya permasalahan di Batam menjadi
faktor rawan yang menyebabkan turunnya iklim investasi. Hal ini tentu
kontradiktif dengan tujuan utama dijadikannya Batam sebagai daerah industri dan
perdagangan internasional. Kondisi ini
tentu tak bisa dibiarkan terus berlarut-larut, mesti ada upaya yang konkrit
guna mencari solusi atas persoalan dualisme kewenangan pengelolaan Batam ini.
Pertama, merumuskan
ulang visi, misi dan strategi yang mesti ”diperankan” Batam dalam konteks
kepentingan nasional dalam bingkai otonomi daerah.
Langkah ini dirasa penting, sebab seiring
berjalannya waktu sangat mungkin format dan strategi pembangunan dan peran yang
mesti dimainkan oleh Batam dalam konteks kepentingan nasional sudah tak relevan
dengan kondisi, tantangan dan tuntutan yang ada. Untuk itu, perumusan ulang
visi, misi dan strategi yang mesti ”diperankan” Batam menjadi sebuah keniscayaan
guna menjawab berbagai persoalan, tantangan, dan tuntutan yang berkembang saat
ini dan kedepan.
Kedua, mengkaji
format ideal pengelolaan Batam
Setelah merumuskan ulang visi, misi dan strategi,
langkah berikutnya adalah melakukan kajian terhadap format ideal pengelolaan
Batam dalam konteks otonomi daerah dan Free Trade Zone.
Pengkajian atas format ideal pengelolaan
Batam ini dapat dilihat dari berbagai sisi, baik geoekonomi, geostrategis, geopolitik,
dan tentu juga otonomi daerah. Sehingga
didapatkan sebuah rumusan kajian yang secara ilmiah mampu dipertanggungjawabkan
dan sekaligus mampu menjawab persoalan dan tuntutan Batam saat ini dan masa
depan.
Hal ini penting, mengingat saat ini telah
berkembang diskursus tentang format pengelolaan Batam, seperti : secara
bertahap mengurangi kewenangan BP Batam dan menambah kewenangan Pemko Batam, membubarkan
BP Batam dan melimpahkan seluruh kewenangan ke Pemko Batam, atau
opsi otonomi khusus. Dimana Batam menjadi provinsi yang dipimpin oleh seorang
Gubernur sekaligus ex officio Kepala BP Batam.
Catatan Akhir
Dibutuhkan keseriusan dan kebesaran hati
dari kedua belah pihak, baik BP Batam maupun Pemko Batam. Untuk itu, para
pemangku kepentingan (stakeholders)
Batam semestinya proaktif terhadap kedua langkah diatas dengan menggelar koordinasi
dan seminar yang dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan dengan melibatkan
berbagai pihak yang memiliki kompetensi, dari kalangan akademisi, pakar, pemerintah
pusat, DPR RI dan juga DPD RI, sehingga
didapat sebuah rumusan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil rumusan tersebut menjadi bahan dan
rekomendasi yang disampaikan ke pemerintah pusat, DPR RI dan DPD RI sebagai
pihak yang memiliki otoritas didalam merumuskan dan mengambil keputusan atas
persoalan Batam tersebut. Dengan demikian persoalan Batam ini dapat segera bisa
diselesaikan sehingga arah pembangunan Batam menjadi lebih jelas dan mampu
menjawab tantangan, dan tuntutan Batam saat ini dan masa depan.
sepertinya bukan hanya keseriusan ttp juga integritas pejabat indonesia dr bawah hingga atsan bebas dr KKN, shg batam jd singapuranya indonesia
BalasHapus