Semester pertama (enam bulan) masa pemerintahan Jokowi
ternyata masih jauh dari harapan – kalau tak memakai istilah mengecewakan.
Mayoritas publik tidak puas dengan performa pemerintahan yang mengusung Nawa
Cita sebagai visinya tersebut.
Survei Indonesia Development Monitoring (IDM) menyebutkan
sebanyak 90,8 persen publik tidak puas dengan kinerja Jokowi, khususnya di
sektor tata kelola pemerintahan. Artinya hanya 9,2 persen yang puas dengan
kinerja politisi PDIP ini.
Salah satu indikator yang mudah ditangkap publik
adalah seringkalinya para menteri saling berbantahan antar satu dengan lainnya
terkait sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah.
Dan yang paling mengkhawatirkan dari sisi tata kelola
pemerintahan adalah 72 perpres telah diterbitkan Jokowi, 30 perpres di tahun
2014 dan 42 di tahun 2015. Dan ternyata beberapa dari prespres tersebut
bermasalah, karenanya perlu direvisi atau bahkan dicabut.
Memang benar, prespres adalah kewenangan presiden,
namun terlihat kurang elok jika direvisi atau bahkan dicabut dalam kurun waktu
yang relatif singkat.
Dan ini semakin membenarkan anggapan publik bahwa ada
problem dalam perencanaan dan administrasi pemerintahan Jokowi. Kondisi ini
tentu akan mengganggu manajemen pemerintahan dan mampu menjatuhkan kewibawaan
pemerintah khususnya Jokowi.
Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengamanatkan pemerintah untuk membuat Program
Penyusunan Peraturan Presiden.
Namun faktanya, 72 perpres yang telah diterbitkan
Jokowi tak didasarkan pada program penyusunan perpres. Keppres No. 10 Tahun
2015 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden 2015 baru diteken presiden
pada tanggal 29 April 2015 atau setelah 72 perpres tersebut diterbitkan.
Merevisi atau mencabut perpres dalam waktu yang
relative singkat menunjukkan pemerintah tak cermat dalam menjalankan
kekuasaan. Dan kondisi ini secara sadar
diakui oleh Jokowi saat tak mencermati Perpres No. 39 Tahun 2015 yang
ditandatanganinya.
Ketidakcermatan presiden diperparah dengan birokrasi
pemerintah yang baru yang belum terkonsolidasi secara baik.
Adanya dugaan penyimpangan Keppres yang dilakukan oleh
Menteri ESDM terkait pelantikan sejumlah pejabat eselon I Kementerian
ESDM. Pasalnya dari informasi yang
beredar Menteri ESDM melakukan pelantikan tidak sesuai dengan nama pejabat dati
hasil Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai presiden.
***
Dibidang ekonomi, kinerja tim menteri ekonomi dinilai
sangat buruk bila dibandingkan dengan kinerja menteri ekonomi di pemerintahan
SBY.
Menurut ekonom Indef, Enny Sri Hartati, tim ekonomi
Jokowi tidak memiliki kalkulasi kebijakan ekonomi yang tepat, sehingga
dampaknya sangat jelas berdampak negative bagi masyarakat. Transisi pemerintahan SBY ke Jokowi sangatlah
berpengaruh bagi perlambatan ekonomi di kuartal pertama tahun 2015. Namun
demikian semestianya adanya transisi itu mestinya dapat diantisipasi. Dari hal tersebut terlihat koordinasi dan
leadership yang lemah.
Kekecewaan publik didasari penolakan mereka terhadap
kebijakan pemerintah dalam menentukan harga bahan bakar minyak, impor beras,
serta kenaikan tarif dasar listrik dan gas.
Ketika harga BBM naik, maka hampir semua kebutuhan pokok pun melonjak
naik. Sehingga memukul daya beli masyarakat. Menjeritlah mereka.
Dibidang Politik, Hukum dan Keamanan, diukur dari
ketidakpuasan publik terhadap reformasi sistem dan penegakan hukum. Hukum masih
terkontaminasi oleh politik. Hukum masih tajam kebawah dan tumpul keatas.
Ditambah dibidang ini menteri-menteri banyak diisi
oleh kader partai, sehingga berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil.
Menurut direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia
(Sigma) Said Salahudin, ada beberapa menteri yang perlu diganti atau
direposisi. Hal ini dikarenakan kurang tepat dalam penempatan jabatan
menterinya. Sofyan Djalil dari Menko Perekonomian ke Menteri Sekretaris Negara.
Sedangkan Pratikno sebagai akademisi dan guru besar di bidang politik dan
pemerintahan kiranya lebih tepat di posisi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi.
Sedang Yuddy tidak tepat menjabat di kursi Menteri PAN
RB karena selain tidak konsisten dalam membuat kebijakan, pos kementerian yang
membawahi para pegawai negeri sipil ini semestinya steril dari kalangan
politisi. Yuddy bisa ditematkan sebagai
Sekretaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto yang kerap mendapatkan kritik
keras dari public, termasuk dari partai pendukung pemerintah.
Bila Andi masih diikutsertakan, masukkan saja ke Tim
Komunikasi Presiden yang baru dibentuk. Rahmat Gobel sebagai seorang yang
berlatar belakang industriawan, semestinya di posisi Menteri Perindustrian
bukan di Menteri Perdagangan. Latar belakngnya lebih dekat ke industri,
karenanya dia tidak terlalu berhasil mengurusi perdagangan.
Sebagai tokoh muda yang sering memberikan gagasan,
inspirasi dan motivasi kepada kaum muda, sepertinya Anies Baswedan bisa
ditempatkan ke Menteri Pemuda dan Olahraga. Tepat bila dia diberi tugas
meningkatkan kualitas pemuda dan prestasi para atlet. Pos kementerian ini
sebaiknya tidak tepat diisi oleh politisi.
Meskipun berlatarbelakang pendidik, namun Anies tidak
cukup sukses mengelola ujian nasional.
Yasona Laoly, nampaknya salah satu Menteri yang layak
untuk diganti. Mengingat dia sudah terjebak dengan persoalan politik yang
menimpa PPP dan Golkar, yang akhirnya menimbulkan kegaduhan yang
berlarut-larut.
***
Secara keseluruhan kinerja menteri-menteri kabinet
Jokowi tak ada yang menonjol. Bahkan seorang Tjipta Lesmana berani mengatakan
kalau kabinet pemerintahan Jokowi jelek.
Selain itu dia juga mengatakan kalau Jokowi unggul di
survey yang ternyata banyak hasil kongkalikong media. Menurutnya Jokowi tak
lebih dari leader by survey, tinggi
terus hasilnya tapi akhirnya ketahuan juga bagaimana kualitas sebenarnya.
Akibatnya, Jokowi merupakan sosok yang lemah dalam
background politik dan itu berpengaruh pada kinerja yang tak tegas untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Jadi, persoalan utamanya adalah bukan di menteri.
Melainkan manajamen atau tata kelola pemerintahan. Koordinasi antara presiden
dan wakil presiden tidak maksimal bahkan cenderung bermasalah. Hal ini terlihat
dari seringnya terjadi beda pendapat antara kedua pemimpin nasional tersebut.
Apakah mengganti menteri akan efektif menyelesaikan
persoalan negeri ini?
*Terbit di Harian Batam Pos, 1 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar