Beberapa hari lalu, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia yang dihitung dengan metode baru. Selain merupakan kesepakatan global, metode baru ini diharapkan dapat memotret perkembangan pembangunan manusia dengan lebih tepat. Yang jadi pertanyaan, apakah makna dari angka-angka baru ini bagi Indonesia?
Setelah menjalani masa transisi selama lima tahun terakhir, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baru kini mulai diperkenalkan. Transformasi ini ditandai dengan penerapan metode baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi masa kini. Dua dari empat indikatornya diganti untuk merepresentasikan secara tepat hal-hal yang dihadapi saat ini.
Dua indikator tersebut ialah Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. HLS, yang termasuk ke dalam dimensi pendidikan, menggantikan Angka Melek Huruf (AMH). Sementara PNB per kapita menggantikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebagai indikator tunggal dalam dimensi standar hidup.
Dalam dimensi standar hidup, PNB per kapita kini dihitung dengan memasukkan 96 komoditas Purchasing Power Parity (PPP). Sebelumnya, PDB per kapita dihitung dengan 27 komoditas saja. PPP, yang dipopulerkan oleh ahli ekonomi Swedia, Gustave Cassel, hampir seabad lalu, merujuk pada keseimbangan daya beli di antara masyarakat di wilayah atau negara yang berbeda.
PNB sendiri menggambarkan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara Indonesia (WNI). Lokasinya bisa di dalam maupun luar negeri. Sementara PDB merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi di dalam negeri. Pemiliknya bisa saja WNI ataupun warga asing.
Dengan teknologi yang semakin maju, arus pergerakan komoditas serta uang antarnegara semakin terbuka dan mudah. Dunia kini seakan tidak berbatas lagi. Jarak fisik atau geografis tidak lagi menjadi penghalang sirkulasi ekonomi dunia. Misalnya saja, uang atau dana dari satu negara bisa berpindah ke negara lain dalam tempo singkat. Sistem keuangan dan perbankan dunia yang semakin saling terkoneksi membuat perpindahan itu menjadi nyata.
Dua indikator lain masih tetap dipertahankan. Keduanya ialah Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Hanya saja ada sedikit penyesuaian pada RLS, yang terkait dengan penetapan batas usia penduduk yang diamati. Dalam metode baru, batas usia penduduk dinaikkan menjadi 25 tahun.
AHH merupakan indikator yang mewakili dimensi kesehatan, sementara RLS termasuk ke dalam dimensi pendidikan. Jadi, secara umum, wajah IPM tidak banyak berubah. Hanya ada sejumlah penyesuaian indikator pembentuknya.
,
Yang jelas, empat prinsip untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia tetap dipertahankan. Keempat prinsip tersebut ialah produktivitas, pemerataan, keberlanjutan, serta pemberdayaan.
Prinsip yang pertama, produktivitas, merepresentasikan kebutuhan manusia untuk terus berproduksi agar proses pembangunan dapat terus berjalan. Prinsip yang kedua, pemerataan, menunjukkan adanya akses yang adil terhadap sumber daya ekonomi dan sosial bagi seluruh warga.
Dua prinsip berikutnya ialah keberlanjutan dan pemberdayaan. Keberlanjutan menjadi prasyarat mutlak keseimbangan antara generasi sekarang dengan yang akan datang. Lalu, prinsip yang terakhir, pemberdayaan, diperlukan agar masyarakat turut berpartisipasi dalam proses pembangunan yang juga akan menentukan arah hidup mereka sendiri.
Pembangunan daerah
Dengan metode baru, hasil perhitungan IPM saat ini menjadi lebih rendah dibandingkan hasil perhitungan dengan metode lama. Misalnya saja, IPM Indonesia yang baru pada 2010 dan 2013 menjadi 66,53 dan 68,31. Sebelumnya, dengan metode lama, IPM Indonesia pada periode yang sama, tercatat sebesar 72,27 dan 73,81.
Di tingkat nasional, variasi perubahan indeks di tingkat nasional pada periode 2010-2013 tergolong kecil. Ditambah lagi dengan tren perkembangan indeks yang baru dengan lama masih sejalan, IPM baru mungkin tidak akan berdampak besar dalam eskalasi nasional.
Dampak besar justru berpotensi terjadi di daerah. Saat ini, IPM digunakan sebagai salah satu indikator dalam menghitung besaran Dana Alokasi Umum (DAU). IPM dimasukkan ke dalam formula untuk menghitung kebutuhan fiskal daerah. Implikasinya, semakin tinggi IPM, semakin tinggi pula DAU yang diterima daerah.
DAU, yang merupakan salah satu mekanisme transfer dari pusat ke daerah ini, menjadi "darah" yang bersirkulasi dalam perekonomian daerah. Peran DAU ini semakin penting terutama di daerah-daerah yang kegiatan ekonominya secara dominan ditopang oleh belanja pemerintah.
Indikator jelas, yakni seberapa besar peran DAU, yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD), dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah tersebut.
Hampir pasti, perhitungan IPM dengan metode baru akan membuat IPM daerah menurun. Indikasinya dari IPM nasional yang keseluruhannya menurun. Namun, perlu dicatat bahwa penurunan di setiap daerah bisa saja berbeda. Ada daerah yang IPM-nya turun relatif kecil, ada pula yang turun relatif besar.
Saat benar-benar diaplikasikan dalam perhitungan DAU, variasi penurunan indeks tersebut berpotensi membawa "konflik" baru. Daerah yang IPM-nya turun sedikit akan lebih diuntungkan ketimbang daerah yang IPM-nya menurun lebih besar. Kondisi tersebut tentunya bergantung pada hasil perhitungan kebutuhan fiskal.
Dalam konteks pembangunan daerah, DAU sebenarnya memiliki hubungan timbal balik dengan IPM. Meski umumnya digunakan untuk keperluan belanja pegawai, DAU secara tidak langsung menjadi stimulus konsumsi di daerah. Selanjutnya, tingkat konsumsi ini turut berkontribusi bagi geliat kegiatan ekonomi daerah.
Selama mengikuti prinsip-prinsip produktivitas, pemerataan, keberlanjutan, serta pemberdayaan, kegiatan ekonomi daerah akan berujung pada pembangunan manusia yang lebih baik. IPM pun dapat terdongkrak naik. Implikasi berikutnya, DAU bisa semakin besar di masa mendatang.
Dinamika global memang telah mendorong perubahan dalam pengukuran IPM. Angka-angka bisa saja berganti. Namun, yang lebih penting ialah menjaga "roh" pembangunan manusia agar cita-cita yang diamanatkan para pendiri bangsa ini bisa terwujud.
sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar