Ternyata benar apa yang ramai diberitakan media saat ini. Bukan hanya sektor manufaktur dan konstruksi, tetapi sektor jasa pun sudah mulai mempekerjakan tenaga kerja asing yang rasanya tidak perlu keterampilan khusus.
Saya terkejut dengan hadirnya pramusaji asing di restoran yang bisa dibilang bahkan bukan restoran fine dining,
melainkan hanya restoran keluarga biasa di sebuah pusat perbelanjaan.
Di tengah perekonomian yang kian dilanda ketidakpastian ini, tepatkah
jika pekerja asing tanpa keterampilan khusus ini mengisi lapangan kerja
yang tersedia?
Mendesak sekaligus menantang
Perkembangan
teknologi yang tak terbendung dan keadaan ekonomi politik dunia yang
semakin dinamis menciptakan tantangan sendiri, terutama bagi negara
berkembang seperti Indonesia. Ancaman berubahnya demographic dividend,
yang mana kehadirannya menyuplai Indonesia dengan banyak pekerja usia
produktif dengan rasio ketergantungan yang rendah, menjadi demographic disaster semakin besar.
Kemajuan teknologi tak dapat dihindari. Perkembangan teknologi di
bidang kesehatan baik alat, jasa manusia, maupun farmasinya meningkatkan
angka harapan hidup (dari 67,8 pada 2000 menjadi 70.1 pada 2015) dan
membuat mereka yang berumur pun masih mampu untuk produktif.
Namun, ketika mereka yang sudah berumur masih dapat bekerja dengan
produktif dan usia pensiun dipanjangkan, tidak kah itu berarti semakin
banyak lapangan kerja yang perlu diciptakan? Selain itu, perkembangan
teknologi memudahkan masyarakat untuk melakukan transaksi dengan
menghemat waktu dan tenaga.
E-commerce (niaga elektronik) berkembang pesat. Pernah kah terbayang
apa yang akan terjadi pada para pakerja di pusat pertokoan, pasar
swalayan, bahkan pasar tradisional 10 tahun mendatang ketika semua
transaksi dilakukan secara daring? Pemerintah harus mempersiapkan ke
mana harus mengalokasikan tenaga kerja sebanyak itu.
Dengan kata lain, kini desakan dalam menciptakan lapangan kerja lebih
dari sekadar mempekerjakan stok pekerja usia kerja yang akan masuk ke
pasar tenaga kerja, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru untuk
merealokasi mereka yang terkena dampak perubahan teknologi (atau yang
biasa disebut dengan creative destruction).
Tak hanya mendesak, tapi kini juga kian menantang. Janji Presiden
Jokowi untuk menciptakan 10 juta pekerjaan layak agaknya memerlukan
usaha yang jauh lebih besar dari yang semula diperkirakan.
Perekonomian global belum juga pulih dan masih diliputi ketidakpastian. Siapa sangka kebijakan pengetatan likuiditas (tapering)
Amerika Serikat, yang merupakan sinyal bahwa negara tersebut mulai
pulih dari krisis 2008, dan kebijakan pelonggaran moneter Jepang untuk
dapat menggerakan kembali perekonomannya ternyata tidak berbuah sesuai
harapan.
Siapa yang tahu sampai kapan harga komoditas akan tetap serendah ini di kala Cina dinilai overcapacity.
Dan siapa sangka masyarakat Inggris dan Amerika mengambil keputusan
politik di luar dugaan dan mengarah kepada antiglobalisasi.
Ambil saja contohnya AS, negara pengimpor terbesar di dunia dan
negara tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Jika kebijakan
proteksionis di bawah presiden terpilih Donald Trump benar dijalankan,
bagaimana bisa Indonesia tidak terkena dampaknya dan bagaimana kebutuhan
lapangan kerja yang jumlahnya tidak sedikit dapat dipenuhi.
Padahal strategi awal pemerintah adalah berfokus pada pengembangan
industri padat karya berbasis ekspor dan terus menarik Penanaman Modal
Asing (PMA). Bukan tidak mungkin, tapi jelas semakin sulit.
Meraba Cina
Di sisi lain, Cina mengambil langkah
yang berbeda. Negara tersebut sedang mengalami transformasi ekonomi
dimana mereka sudah harus meninggalkan industri manufaktur padat karya
bernilai tambah rendah dan berpindah ke industri yang lebih berorientasi
konsumsi dan bernilai tambah tinggi (sesuai dengan Flying Geese Model,
paradigma yang menggambarkan fase industrialisasi negara berkembang
yang pada akhirnya akan mengejar negara maju namun memaksa mereka untuk
masuk ke industri yang lebih kompleks dan membutuhkan keahlian
tertentu).
Untuk menghadapi hal ini, Cina menganggap bahwa strategi yang mungkin
efektif adalah dengan mengubah fokus investasinya menjadi lebih
‘keluar’ dan kurang ‘ke dalam’. Strategi Cina ini tidak hanya
menguntungkan negara berkembang, tetapi juga negara maju seperti
Australia.
Ketika negara berkembang dengan tingkat upah rendah dan mengandalkan
komoditas diuntungkan dengan masuknya investasi industri padat karya,
investasi teknologi untuk industrial upgrading dan berbagai
proyek infrastruktur (yang sebagai gantinya Cina mengamankan
ketersediaan bahan baku, energi, barang konsumsi dan lainnya), negara
post-industrial seperti Australia diuntungkan dengan infrastruktur
berskala besar yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saingnya di
tengah pertumbuhan ekonominya yang melambat (yang sebagai gantinya,
utamanya, Cina mendapat teknologi dan pembelajaran).
Kini investasi langsung asing asal Cina merupakan kedua terbesar di
dunia setelah AS dan tersebar di berbagai negara. Pada 2015 investor
Cina melakukan PMA di 6,532 perusahan di 155 daerah dan negara.
Tak dapat dimungkiri bahwa investasi cina telah membuka banyak
lapangan pekerjaan di dunia, dan bagi negara berkembang penciptaan
lapangan kerja adalah salah satu harapan yang mereka gantungkan dari
investasi tersebut. Namun, di sisi lain muncul kekhawatiran tersendiri,
bahkan perlawanan dari para pekerja.
Para pekerja lokal di negara-negara Afrika dan Amerika Latin seperti
Ekuador melancarkan aksi protesnya terhadap upah rendah yang dibayarkan,
jaminan kesehatan, dan kondisi kerja yang membahayakan. Dan tak hanya
Indonesia, Australia pun khawatir akan aliran masuk pekerja Cina yang
tidak berketerampilan khusus.
Bahkan bisa dibilang Australia sangat khawatir karena pekerja asing
Cina ini dibayar lebih rendah dari pekerja lokal. Apakah semakin
mendunianya investasi modal Cina berarti semakin besar aliran keluar
pekerjanya?
Aliran masuk pekerja asing memang sewajarnya terjadi seiring dengan
masuknya aliran modal, tapi ternyata bagi Cina hubungan antar kedua
faktor produksi tersebut tidak selalu positif. Dalam kebijakan bisnis
internasional Cina, negara tersebut tidak selalu mengalihkan pasar
tenaga kerjanya ke negara yang menerima investasi asing darinya.
Data Kementrian Perdagangan Tiongkok menunjukkan hal ini. Dalam lima
tahun terakhir tidak ada korelasi antara aliran keluar investasi Cina
(yang digambarkan oleh data pergantian proyek dan PMA luar negeri) dan
tenaga kerja Cina. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh data terbaru
periode Januari-September 2016 di mana jika dibandingkan dengan periode
yang sama tahun lalu, jumlah aliran investasi ke luar bertambah sebesar
46,19 miliar dolar AS, sementara aliran pekerja ke luar berkurang
sebesar 37 ribu orang.
Nasionalis pragmatis
Masuknya PMA Cina ke Indonesia ternyata tidak harus berujung pada banjirnya pekerja asal negara tersebut. Jangan sampai kekhawatiran masyarakat atas masuknya tenaga buruh kasar dan tanpa keterampilan khusus asal Cina ke Indonesia merambat ke sentimen tersendiri terhadap proyek-proyek atau investasi Cina yang memang meningkat pesat.
Masuknya PMA Cina ke Indonesia ternyata tidak harus berujung pada banjirnya pekerja asal negara tersebut. Jangan sampai kekhawatiran masyarakat atas masuknya tenaga buruh kasar dan tanpa keterampilan khusus asal Cina ke Indonesia merambat ke sentimen tersendiri terhadap proyek-proyek atau investasi Cina yang memang meningkat pesat.
Memenuhi kebutuhan penciptaan lapangan kerja di tengah keadaan yang
penuh ketidakpastian ini mendesak dan menantang. Ketika perdagangan
global bertumbuh dengan lambat, masuknya investasi asing dapat membantu
Indonesia untuk mengembangkan pasar domestiknya dengan tak hanya
memperluas pasarnya tetapi juga menggerakkan industri-industrinya dan
meningkatkan produktivitas.
Kedua hal tersebut tentunya akan mendorong terciptanya lapangan kerja
dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kita semua sepakat bahwa
transfer pengetahuan dan teknologi, efek penyebaran (spillover effect) dari pekerja asing mendatangkan manfaat.
Dan meskipun minim pekerja kasar pun bisa menciptakan transfer
pengetahuan. Sebab, tak bisa dimungkiri bahwa secara keseluruhan
produktivitas pekerja Cina memang lebih tinggi dari pekerja lokal
Indonesia (rata-rata produktivitas keseluruhan pekerja Cina pada
2011-2015 kurang lebih adalah 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas pekerja Indonesia).
Selain itu, jika memang perusahaan memutuskan untuk mempekerjakan
pekerja asing, mereka pasti mengambil keputusannya secara rasional
karena tentunya butuh lebih banyak sumber daya, baik uang maupun waktu,
yang dikeluarkan dibandingkan dengan mempekerjakan tenaga lokal. Dengan
kata lain, pada satu titik, mempekerjakan pekerja asing mungkin memang
sudah sewajarnya terjadi.
Sehingga rasanya yang lebih tepat dilakukan adalah meminimalisir
dampak negatif dari masuknya aliran pekerja asing yang utamanya tidak
memiliki keahlian khusus. Dimulai dari media yang membuka jalur masuknya
pekerja asing: PMA.
Ideologi politik nasionalis pragmatis sepertinya akan tepat
diterapkan dalam keputusan PMA Indonesia. Nasionalis pragmatis adalah
ideologi yang berdiri di antara dua ekstrem: radikal (yang keras
terhadap PMA) dan non-intervensionis (paham pasar bebas terhadap PMA).
Negara dengan paham nasionalis pragmatis melakukan tawar menawar
dengan negara pemberi PMA atas dasar manfaat versus biaya yang
berpotensi didapatkan, termasuk apa yang harus ditawarkan, alternatif
apa saja yang tersedia, dan horizon waktu.
Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya memilih atau menyaring secara
seksama PMA yang dibuka, yang sesuai dengan strategi yang telah dibuat
untuk mencapai target tertentu. Sehingga potensi biaya yang timbul dapat
ditutupi dengan manfaat yang akan didapatkan.
Jika sejumlah pekerja kasar harus masuk dan dibutuhkan, pastikan
lapangan kerja yang tercipta jumlahnya berkali-kali lipat, transfer
pengetahuan tercipta, dan pastikan sampai kapan aliran masuk pekerja
asing tersebut perlu terjadi. Regulasi beserta aparatnya harus siap
mendampingi.
Masuknya tenaga kerja asing ilegal di suatu negara merupakan bukti
kelalaian yang akhirnya merugikan diri sendiri. Restoran yang saya
sebutkan di paragraf pertama, ternyata merupakan investasi asing.
Grup yang memiliki restoran itu menyatakan bahwa jika sesuai rencana,
mereka akan membuka dua restoran baru setiap tahunnya di Jakarta. Saya
kira itu hal yang baik, pekerjaan dapat tercipta secara langsung, dan
juga secara tidak langsung ketika sektor manufaktur makanan dan minuman
dan sektor transportasi serta pergudangan juga ikut bergerak (ini yang
dimaksudkan dengan spillover effect).
Sekali lagi, tinggal bagaimana pemerintah mendampingi masuknya FDI
tersebut. Sebab, perusahaan tentunya membuat keputusan untuk
mempekerjakan pekerja asing secara rasional.
Syarifah Namira Fitrania,
Peneliti dari Creco Research and Consulting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar