Proses pemilihan pemimpin secara langsung sering kali menyisakan pertanyaan absurd : apakah demokrasi mampu memilih orang terbaik? Dan jawabannya adalah : tidak.
Salah satu sebabnya adalah,
terciptanya citra semu dan palsu hasil dari rekayasa branding dan
pencitraan politik. Seseorang yang biasa saja dan undercapacity bisa
dipoles dan divermak habis-habisan sehingga tampak istimewa. Masyarakat
pemilih mudah tertipu oleh citra semu dan palsu yang disodorkan media.
Fenomena
ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau negara-negara yang dianggap
sedang berkembang. Hal ini pun terjadi di negara-negara yang dianggap
maju, seperti Amerika.
Film Our Branding Is
Crisis bertutur secara lugas tentang hal tersebut. Tiba-tiba film ini
kembali diangkat netizen setelah melihat adegan Ahok menangis di
Pengadilan.
Netizen mempertanyakan tangis Ahok,
mengingat dirinya pernah menyebut ibu-ibu yang menangis karena terkena
gusuran di DKI sebagai tangisan sinetron. Mereka membandingkan tangisan
Ahok itu dengan perilaku Castillo saat kampanye presiden Bolivia.
Our Brand Is Crisis : Rekayasa Branding Politik
Jane
Bodine --diperankan oleh Sandra Bulock-- adalah seorang ahli strategi
untuk kampanye politik. Semacam konsultan politik atau ahli political
branding.
Ia diajak bergabung dalam tim kampanye Castillo, seorang calon presiden di Bolivia.
Awalnya
Jane tidak begitu tertarik. Namun ia berubah pikiran ketika mengetahui
calon presiden lainnya menggunakan jasa Pat Candy --diperankan oleh
Billy Bob Thorton-- musuh Jane dalam dunia branding politik.
Saat
mengetahui latar belakang dan kepribadian Castillo yang buruk, Jane
pesimis untuk bisa memenangkan Castillo. Bahkan Jane sempat menyatakan
bahwa Castillo tidak akan bisa memenangkan suara rakyat.
Ditambah lagi dengan kelakuan dan tabiat Castillo yang negatif, semakin membuat Jane muak.
Yang
membuat Jane bersemangat hanyalah persaingan dirinya dengan Pat Candy.
Ini menyangkut reputasi dalam dunia konsultan politik.
Jane bekerja keras mengupayakan berbagai cara agar kliennya menjadi presiden Bolivia.
Jane
tidak berpikir untuk mengubah citra diri Castillo yang emosional dan
temperamental. Justru Jane menjadikan sifat Castillo tersebut sebagai
bahan dasar kampanye, dengan strategi : Our Brand Is Crisis.
Castillo
dibranding sebagai pemimpin yang tegas dan punya prinsip. Dicitrakan
pula sebagai pemimpin yang mampu melindungi rakyat Bolivia dari berbagai
ancaman seperti IMF dan lainnya.
Di sisi lain,
lawan terberat Castillo dalam pilpres adalah seorang calon yang dekat
dengan rakyat dengan citra yang lembut dan sopan.
Berbagai
strategi ditempuh oleh Jane agar popularitas dan elektabilitas Castillo
terus naik dan bisa memenangkan pemilihan presiden.
Dari strategi _playing as victim_, dikesankan sebagai dizhalimi, akting menangis, hingga kegiatan _negative campaign_.
Pat
Candy pun mengeluarkan berbagai strategi untuk pencitraan dan branding
kliennya. Perseteruan dua kandidat menjadi sangat panas.
Akhirnya Castillo berhasil memenangkan pemilihan presiden Bolivia, melalui serangkaian strategi branding yang canggih.
Namun
Jane kecewa setelah mengetahui tindakan yang dilakukan Castillo sejak
hari pertama menjadi Presiden. Ia merasa menyesal telah memenangkan
Castillo.
Mewaspadai Citra Palsu
Film
ini membuka mata dunia tentang politik pencitraan yang biasa dilakukan
menjelang peristiwa pemilihan, seperti pemilu, pilkada dan pilpres.
Selalu
ada pihak yang bekerja untuk membranding atau mencitrakan calon
pemimpin sedemikian rupa, hingga berhasil memenangkan pemilihan dengan
citra yang diciptakan para konsultan politik.
Bukan
hanya rakyat yang kecewa. Bahkan para konsultan dan tim sukses pun
kecewa karena justru mereka yang paling tahu bahwa citra yang mereka
bangun saat kampanye adalah palsu.
Para calon
tidak peduli harus belajar menangis, belajar memelas, pura-pura
mencintai rakyat, belajar akting. Semua hanyalah citra semu hasil
rekayasa media, demi memenangkan pemilihan.
Film
ini diangkat dari kisah pilpres Amerika Selatan pada tahun 2002.
Ternyata telah berhasil menginspirasi banyak buaya di Indonesia.
Cahyadi Takariawan,
Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar