Publik tentu masih ingat waktu terjadi penggerebekan seorang teroris di Temanggung beberapa tahun yang lalu, yang sampai live di televisi-televisi nasional berjam-jam, di mana Densus 88 mengerahkan semua kemampuannya, sampai robot penjinak bom pun dikerahkan untuk menangkap seorang yang diduga teroris.
Pertanyaannya sederhana, apa bener di dalam rumah itu ada orang yang diduga teroris itu? Kalaulah ada, apa untuk menangkap seorang teroris harus pamer kekuatan begitu rupa? Katanya Densus 88 mempunyai kemampuan lebih dalam aksi pelumpuhan teroris. Kalau saya sih menduga itu penggerebekan tipu-tipu saja. Tak ada itu orang yang diduga teroris di dalam bangunan jelek itu.
Dua hari lalu publik yang lagi asik membincang pasca "wuquf" dalam Aksi 212 dan sedang mendiskusikan kapan waktunya utk "lempar jumrah" (harap dipahami secara guyon), tiba-tiba dikejutkan oleh berita tentang ditemukannya "bom ricecooker" seberat 3 kilogram yang konon akan digunakan untuk meledakkan Istana Negara. Saya memang awan sama sekali tentang urusan bom, tapi mendengar berita seperti itu, apalagi sampai tayang live, saya geli juga. Dalam hati saya bicara: "Ini dagelan apalagi? Masa sih orang yang diduga akan meledakan Istana Negara tampilannya tidak cukup meyakinkan dan bomnya ditemukan di Bekasi". Maaf ya, saya kok sangat tidak yakin dengan bom temuan Bekasi tersebut. Saya menduga kuat, itu tipu-tipu saja. Biasa, dugaan saya hanya sekadar untuk pengalihan itu.
Sebagai warga negara, saya punya hak konstitusi untuk bicara soal hal ini. Secara konstitusi saya dilindungi UUD NRI Tahun 1945 (ini penulisan yang benar) untuk mengkritisi semua kebijakan negara. Apalagi kalau negara mencoba tampil mendominasi dan menghegemoni masyarakat, maka kita mesti harus melawan hegemoni tersebut. Kita harus lawan setiap wacana dominan yang mencoba ditawarkan dan dilakukan oleh negara.
Saya tidak yakin, teroris yang begitu menyeramkan itu benar adanya di Indonesia. Logika saya sangat sederhana. Kalau teroris di Indonesia nyata adanya, maka tak perlu ada Aksi 411 dan Aksi 212. Bukanya dua aksi tersebut merupakan bentuk lunak dari kemarahan umat Islam terhadap Ahok dan juga aparat hukum yang lembek dan lelet dalam memproses kasus penistaan Al-Qur'an yg dilakukan Ahok?
Kalau teroris riil ada di Indoneaia, maaf, maka Ahok, termasuk pejabat-pejabat yang diduga "melindungi" Ahok sudah lama "dileyapkan".
Maaf lho ya, ketika Ahok masih bisa leluasa dan keliaran berkampanye ke mana-mana, tentu ini kontras dengan "kampanye anti teroris" yang digembargemborkan aparat-aparat teroris (bukan aparatnya yang teroris, tapi aparat yang menangani masalah teroris) yang begitu menakutkan, yang kerap menyebut bahwa di Indonesia banyak jihadis-jihadis alumni Afghanistan, alumni Poso, alumni al-Qaidah, anggota ISIS yang konon canggih-canggih, hebat-hebat, yang pernah bikin "Tentara Merah" Uni Sovyet dibuat kalang kabut, yang punya kemampuan merakit bom dari mulai yang low sampai high explosive.
Kalau benar alumni-alumni tetsebut benar adanya, percayalah Ahok tak akan mempunyai keberanian untuk melakukan kampanye ke mana-mana. Pasti alumni-alumni itu akan menjadikan Ahok sebagai target untuk dilenyapkan. Kemana pun Ahok kampanye pasti akan diintai.
Maaf, ini hanya perspektif warga negara biasa dan sekali lagi, sebagai warga negara saya mempunyai hak konstitusional untuk bicara dan membuat status seperti ini.
Ma'mun Murod Al-Barbasy - aktivis muda Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar