Sejak otonomi daerah diberlakukan, pelayanan publik menjadi ramai diperbincangkan. Sebab pelayanan publik merupakan salah satu variabel yang menjadi ukuran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Apabila pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah baik dan berkualitas, maka pelaksanaan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil. Pun sebaliknya.
Pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu area perubahan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi. Lahirnya UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat (termasuk para investor) kepada negara melalui pelayanan publik yang berkualitas.
Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan publik dikatakan berkualitas bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Sebaliknya, apabila masyarakat tidak puas dengan pelayanan yang diberikan, maka dapat dipastikan pelayanan tersebut tidak berkualitas.
Kata "kualitas" sendiri mengandung banyak pengertian, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kualitas bermakna (i) tingkat baik buruknya sesuatu; (ii) derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya); atau mutu.
Menurut Amin Ibrahim (2008), kualitas pelayanan publik didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan dimana penilaian kualitasnya ditentukan pada saat terjadinya pelayanan publik tersebut.
Namun demikian, untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparat pemerintah, perlu ada kriteria atau ciri-ciri yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan berkualitas atau tidak.
Adapun kriteria atau ciri-ciri pelayanan publik berkualitas menurut Fandy Tjiptono (1995) antara lain : (i) ketepatan waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan waktu proses; (ii) akurasi pelayanan, yang meliputi bebas dari kesalahan; (iii) kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; (iv) kemudahan mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang melayani dan banyaknya fasilitas pendukung; (v) kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi, dan lain-lain (vi) fasilitas pendukung pelayanan, misalnya ruang tunggu ber-AC, kebersihan, dan lain-lain.
Inovasi Jadi Kata Kunci
Inovasi menjadi sesuatu yang mutlak dalam pelayanan publik. Sebab apapun kebutuhan masyarakat, pemerintah harus merespon dengan cepat dan tepat. Inovasi juga diharapkan menjadi salah satu cara untuk mendorong percepatan pembangunan secara efektif dan efisien.
Inovasi dapat diartikan sebagai suatu penemuan atau cara terbaru dengan mengombinasikan berbagai kemajuan knowlegde yang tersedia. Dan karenanya inovasi memerlukan bakat, kecerdikan, dan pengetahuan. Tetapi, untuk membuka pintu-pintu inovasi, prasyarat yang diperlukan sesungguhnya adalah kerja keras, fokus dan visi ke depan. Seperti yang diungkapkan Peter F. Drucker, jika tidak ada ketekunan, kegigihan, dan komitmen, maka tidak ada bakat, kecerdikan, dan pengetahuan. Untuk itu, perlu disadari bahwa inovasi sejatinya adalah upaya untuk menawarkan "sesuatu yang berbeda", dengan menciptakan secara cerdas gabungan-gabungan baru yang lebih unggul.
Dalam berinovasi diperlukan semacam benchmark agar inovasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Christiansen (2000), komponen dalam mengukur kinerja inovasi harus mencakup : (i) kecocokan dengan kebutuhan publik, (ii) kecocokan tidak saja dengan kebutuhan publik di masa sekarang, tapi juga di masa yang akan datang, (iii) kecepatan mengacu pada pasar atau waktu implementasi, (iv) dan biaya yang mengacu kepada biaya inovasi itu sendiri).
Lebih lanjut, Christiansen menyebutkan sebuah organisasi yang memberi reward kepada pegawai kreatif yang membuat inovasi-inovasi baru, adalah sebuah hal yang biasa, namun jika sebuah organisasi yang memberi reward kepada pegawai yang memiliki inivasi baru meski inovasi baru tersebut tidak berhasil, maka yang demikianlah yang lebih baik.
Perubahan Paradigma
Sejalan dengan hal tersebut, dalam tiga tahun terakhir telah dicanangkan gerakan “One Agency, One Innovation” yang berarti setiap kementerian/lembaga dan pemda diwajibkan untuk menciptakan minimal satu inovasi layanan publik setiap tahunnya.
Selama ini muncul adagium dalam pelayanan publik : bila bisa diperlambat kenapa mesti dipercepat, kemudian bila bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah.
Dengan semangat inovasi diharapkan terjadi perubahan paradigma dalam pengelolaan pemerintahan khususnya pelayanan publik.
Laporan Global Innovation Index Tahun 2015 menunjukkan bahwa ide-ide cemerlang, kecepatan dan kemampuan berdaptasi adalah faktor penting dalam menentukan keberhasilan suatu inovasi. Dan karena inovasi, pada tahun 2015 dua finalis dari Indonesia berhasil memperoleh penghargaan tingkat dunia dalam lomba United Nation Public Service Awards (UNPSA).
Kedua inovasi dimaksud adalah Pengembangan Kemitraan Dukun dan Bidan untuk Mengurangi Angka Kematian Anak dan Ibu Melahirkan, Kabupaten Aceh Singkil; dan Unit Pelayanan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, Model Jawaban Problematika Kemiskinan, Kabupaten Sragen.
Di tahun ini, tiga inovasi Pemkab Banyuwangi yakni Bayi Lahir Procot Pulang Bawa Akte, Stop Angka Kematian Ibu dan Anak (Sakina) dan Pergunakan Jamban Sehat, Rakyat Aman (Pujasera), terpilih mewakili Indonesia untuk mengikuti kompetisi inovasi pelayanan publik tingkat dunia yang digelar oleh Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Public Service Awards/UNPSA) 2017 di Den Haag, Belanda.
Tiga program inovasi Banyuwangi tersebut akan berkompetisi bersama program layanan publik dari berbagai negara pada 28 Februari 2017 mendatang. Sebuah prestasi yang sangat layak diapresiasi.
Catatan Akhir
Para kepala daerah menjadi kunci terbangunnya budaya inovasi di daerah. Karenanya daerah-daerah yang dipimpin oleh kepala daerah yang memiliki visi dan komitmen terhadap inovasi yang ternyata mampu berkembang maju meninggalkan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Sayangnya kepala daerah yang memiliki visi dan berkomitmen terhadap inovasi dalam pengelolaan pemerintahan khususnya pelayanan publik di negeri masih bisa dihitung dengan jari. Dan kepala daerah yang sedikit itu antara lain : Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat, Tuan Guru Bajang M. Zainul Majdi, Gubernur N usa Tenggara Barat. Abdullah Aswar Anas, Bupati Banyuwangi, Tri Rismahari, W alikota Surabaya, Ridwan Kamil, Walikota Bandung, Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng.
Berharap kedepan akan semakin banyak muncul kepala daerah-kepala daerah yang berkualitas, dan memiliki visi dan komitmen terhadap inovasi pengelolaan pemerintahan daerah sehingga dapat membawa kemajuan di daerah dan muaranya akan berdampak pada kemajuan secara nasional.
*Koran Sindo Batam - 27 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar