Bagi warga Depok, nama Margonda pasti sudah tak asing lagi di telinga. Namanya kerap disebut-sebut dalam percakapan kondektur angkutan umum jurusan Depok. Mungkin, sebagian dari Anda, khususnya warga Jabodetabek, Margonda hanyalah sebuah nama jalan raya besar yang membentang seluas kurang lebih 6,5 kilometer. Menghubungkan setiap orang yang berlalu lalang dari Depok menuju Jakarta.
Hampir semua aktivitas perekonomian berada di jalan itu. Dari kantor pusat pemerintahan, terminal bus, stasiun kereta api, rumah sakit, berbagai perguruan tinggi, sekolah, kantor polres, perumahan, hotel, pusat kuliner, hingga mal ada di sana.
Namun, tahukah Anda siapa Margonda yang menjadi nama jalan itu?
Margonda adalah nama seorang pahlawan yang eksis dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Namanya Margana, namun ia lebih dikenal dengan Margonda.
Jika menganggapnya berasal dari Depok, Anda keliru. Karena pria kelahiran 1918 ini berasal dari Kota Bogor, namun ia gugur di kawasan Kalibata, Pancoran Mas, Depok. Itulah yang membuat namanya harum di Kota Belimbing itu.
Lahir di Baros, Cimahi, Bandung, Margonda muda tumbuh dengan jiwa patriot dan semangat mengusir penjajah dari Tanah Air. Wenri Wanhar, penulis buku 'Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955' menyebut Margonda juga seorang pemuda yang belajar sebagai analisis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Lembaga itu dulunya bernama Analstem Cursus yang didirikan sejak permulaan perang dunia pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik Belanda.
Memasuki 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah dan Indonesia beralih kekuasaannya ke Jepang. Margonda akhirnya bekerja untuk Jepang.
Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal asal Bogor dan Depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor yang merupakan cikal bakal Tentara Republik Indonesia (TNI).
Sayangnya, AMRI hanya berjalan singkat di bawah kepemimpinan Margonda. Mereka justru terpecah belah dan anggotanya bergabung dengan kelompok seperti, BKR, Pesindo, dan KRISS.
Banyaknya kelompok dan para pejuang berakibat petaka bagi para Belanda Depok itu. Pada 11 Oktober 1945, meletus peristiwa Gedoran Depok. Depok diserbu para pejuang kemerdekaan dan mereka menilai orang Depok tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.
Depok pun dikuasai para pejuang. Kantore Gemeente Bestuur berubah fungsi menjadi markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon ujung tombak Jawa Barat pimpinan Ibrahim Adjie. Sayangnya, dalam peristiwa itu jejak sejarah Margonda tidak tercatat. Namun beberapa hari kemudian, pasukan NICA yang datang membonceng Sekutu menyerbu Depok untuk membebaskan orang Depok yang ditawan TKR. Pejuang berhasil dipukuli mundur.
Memasuki November, para pejuang yang tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka berencana merebut NICA. Akhirnya NICA pun kelabakan, namun Depok gagal direbut pejuang. Kedua pihak kehilangan banyak korban.
Saat itulah keberadaan Margonda kembali muncul. Di antara ratusan pejuang yang gugur hari itu, ada Margonda pimpinan AMRI. Pria yang meninggalkan satu cucu di Kebon Pala, Jakarta Timur ini tertembak timah panas penjajah di pinggir Kalibata, Pancoran Mas oleh tentara Inggris.
Menurut sejarah, dia gugur bersimbah darah dengan granat di tangannya yang siap dilempar ke penjajah. Pada 1970-an lah nama pahlawan Margona diabadikan menjadi nama jalan di Depok.
Sumber : merdeka.com dan beberapa sumber lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar