Teori konspirasi adalah dugaan-dugaan yang menyatakan bahwa penyebab utama suatu peristiwa politik adalah hasil persekongkolan rahasia dari sekumpulan orang atau organisasi. Pola umumnya adalah persekongkolan rahasia (pihak pertama) memicu terjadinya suatu peristiwa, namun dibuat seolah-olah pelakunya adalah pihak kedua. Untuk kebutuhan perbandingan, tulisan ini juga akan membahas contoh Teori Konspirasi di negara-negara di luar kawasan Timur Tengah.
A. Konspirasi Yang Merupakan Operasi Intelijen
Secara umum, operasi intelijen meliputi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Penyelidikan adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi, antara lain dilakukan dengan penyusupan. Pengamanan adalah kegiatan untuk mencegah serangan lawan, termasuk diantaranya adalah dalam bentuk kontra-intelijen (mencegah operasi intelijen pihak lawan). Sedangkan penggalangan adalah kegiatan untuk menciptakan suatu kondisi yang melibatkan kelompok tertentu sehingga menimbulkan dampak politik yang menguntungkan kepentingan intelijen.
Operasi intelijen umumnya berupa kegiatan rahasia (covert operation), dimana intelijen menyembunyikan keterlibatannya sebagai pelaku. Covert operation yang melanggar hukum dan hak masyarakat sipil disebut black operation.
Salah satu contoh black operation adalah Project MKUltra, yaitu penelitian pengendalian pikiran serta rekayasa perilaku manusia yang dilakukan CIA pada 1953 – 1973. Penelitian tersebut dilakukan secara illegal (melanggar hukum) karena orang-orang ditipu sehingga bisa dijadikan bahan percobaan. Terdapat sekitar 80 lembaga (seperti universitas, rumah sakit, penjara, dan perusahaan obat-obatan) yang terlibat, dengan sasarannya adalah warga Amerika Serikat (AS) dan Kanada, serta meliputi penggunaan obat-obatan terlarang dan hipnotis. MKUltra terbongkar pada 1975 setelah Kongres AS membentuk panitia khusus yang menyelidiki kegiatan CIA.
Orang-orang yang menjadi bahan percobaan Project MKUltra sering dikaitkan dengan pembunuhan tokoh-tokoh politik di AS.
Berikut ini beberapa contoh pola konspirasi yang merupakan operasi intelijen terhadap umat Islam:
Secara umum, operasi intelijen meliputi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Penyelidikan adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi, antara lain dilakukan dengan penyusupan. Pengamanan adalah kegiatan untuk mencegah serangan lawan, termasuk diantaranya adalah dalam bentuk kontra-intelijen (mencegah operasi intelijen pihak lawan). Sedangkan penggalangan adalah kegiatan untuk menciptakan suatu kondisi yang melibatkan kelompok tertentu sehingga menimbulkan dampak politik yang menguntungkan kepentingan intelijen.
Operasi intelijen umumnya berupa kegiatan rahasia (covert operation), dimana intelijen menyembunyikan keterlibatannya sebagai pelaku. Covert operation yang melanggar hukum dan hak masyarakat sipil disebut black operation.
Salah satu contoh black operation adalah Project MKUltra, yaitu penelitian pengendalian pikiran serta rekayasa perilaku manusia yang dilakukan CIA pada 1953 – 1973. Penelitian tersebut dilakukan secara illegal (melanggar hukum) karena orang-orang ditipu sehingga bisa dijadikan bahan percobaan. Terdapat sekitar 80 lembaga (seperti universitas, rumah sakit, penjara, dan perusahaan obat-obatan) yang terlibat, dengan sasarannya adalah warga Amerika Serikat (AS) dan Kanada, serta meliputi penggunaan obat-obatan terlarang dan hipnotis. MKUltra terbongkar pada 1975 setelah Kongres AS membentuk panitia khusus yang menyelidiki kegiatan CIA.
Orang-orang yang menjadi bahan percobaan Project MKUltra sering dikaitkan dengan pembunuhan tokoh-tokoh politik di AS.
Berikut ini beberapa contoh pola konspirasi yang merupakan operasi intelijen terhadap umat Islam:
1. False Flag
False Flag Operation adalah operasi rahasia yang dilakukan dengan menunjukkan seolah-olah pelakunya adalah pihak lain. Istilah ini berasal dari salah satu strategi perang laut di masa lalu, dimana kapal perang mengibarkan bendera musuhnya sehingga dapat mengelabui musuhnya tersebut.
Salah satu contoh operasi False Flag adalah Operation Susannah yang dilakukan intelijen Israel di Mesir pada 1954. Mereka menggunakan sekelompok Yahudi Mesir untuk mengebom beberapa sasaran di Mesir, yang diantaranya adalah gedung teater Inggris dan perpustakaan AS. Pemboman tersebut bertujuan untuk menyalahkan Ikhwanul Muslimin dan beberapa kelompok lainnya, sehingga akan menimbulkan citra bahwa kondisi dalam negeri Mesir tidak aman, dan Inggris harus tetap mempertahankan pasukannya di wilayah Terusan Suez.
Namun aparat keamanan Mesir berhasil mengungkap bahwa intelijen Israel adalah dalang dari pemboman tersebut. Menteri keamanan Israel, Pinhas Lavon, akhirnya mengundurkan diri sehingga peristiwa tersebut kemudian dinamakan Lavon Affair. Pada 2005, pemerintah Israel memberikan penghargaan pada agen Operation Susannah yang masih hidup.
False Flag Operation adalah operasi rahasia yang dilakukan dengan menunjukkan seolah-olah pelakunya adalah pihak lain. Istilah ini berasal dari salah satu strategi perang laut di masa lalu, dimana kapal perang mengibarkan bendera musuhnya sehingga dapat mengelabui musuhnya tersebut.
Salah satu contoh operasi False Flag adalah Operation Susannah yang dilakukan intelijen Israel di Mesir pada 1954. Mereka menggunakan sekelompok Yahudi Mesir untuk mengebom beberapa sasaran di Mesir, yang diantaranya adalah gedung teater Inggris dan perpustakaan AS. Pemboman tersebut bertujuan untuk menyalahkan Ikhwanul Muslimin dan beberapa kelompok lainnya, sehingga akan menimbulkan citra bahwa kondisi dalam negeri Mesir tidak aman, dan Inggris harus tetap mempertahankan pasukannya di wilayah Terusan Suez.
Namun aparat keamanan Mesir berhasil mengungkap bahwa intelijen Israel adalah dalang dari pemboman tersebut. Menteri keamanan Israel, Pinhas Lavon, akhirnya mengundurkan diri sehingga peristiwa tersebut kemudian dinamakan Lavon Affair. Pada 2005, pemerintah Israel memberikan penghargaan pada agen Operation Susannah yang masih hidup.
2. Agent Provocateur
Intelijen telah menyusupkan anggotanya ke berbagai gerakan Islam. Mereka tidak hanya bertugas untuk penyelidikan (menghimpun informasi), namun juga dapat ditugaskan untuk melakukan penggalangan (misalnya provokasi). Agen provokator adalah orang yang menyusup ke suatu kelompok untuk menghasut orang-orang di dalam kelompok tersebut, atau untuk melakukan tindakan yang akan melibatkan kelompok tersebut.
Salah satu contoh operasi provokator adalah kasus Jamaah Imran 1980 – 1981. Jamaah Imran adalah kelompok pemuda Bandung yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein. Mereka berkumpul akibat kecewa terhadap sikap ulama (seperti Natsir dan Hamka) yang dianggap tidak tegas menolak rencana pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Intelijen kemudian menyusupkan Najamuddin alias Johny ke dalam Jamaah Imran. Najamuddin menghasut Jamaah Imran untuk melakukan perlawanan terhadap ABRI. Ia memberikan setumpuk dokumen aspal dari Mabes ABRI dan CSIS yang berisi rencana ABRI untuk melakukan de-islamisasi di Indonesia.
Jamaah Imran sebelumnya sudah membenci Orde Baru akibat ditahannya ratusan muslim terkait Komando Jihad (hasil Opsus Ali Moertopo). Najamuddin lalu mengusulkan pembajakan pesawat sebagai sarana pengumuman kepada dunia tentang adanya gerakan Islam di Indonesia dan kekejaman rezim militer Orde Baru terhadap umat Islam. Najamuddin berhasil membujuk Jamaah Imran untuk merampas senjata di polsek Cicendo. Tiga polisi terbunuh dalam peristiwa tersebut, sehingga Jamaah Imran pun diburu aparat. Lima anggota Jamaah Imran kemudian membajak pesawat Woyla pada 1981. Para pembajak akhirnya dibunuh oleh pasukan khusus ABRI.
Dalam buku “Imran: Dari Hukum Sampai Islam” yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, disebutkan bahwa peran Najamuddin sebagai anggota intelijen ABRI yang menyusup dan memprovokasi Jamaah Imran telah diungkap dalam persidangan. Salah satu saksi, Umar Abduh, juga mengungkapkan jebakan yang telah dilakukan intelijen. Namun hakim ketua dalam sidang saat itu malah memberi jawaban: “… pemerintah memang sengaja menjebak anda untuk kepentingan negara.”
Soemitro dalam biografinya “Soemitro, Mantan Pangkopkamtib: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib” menyebutkan bahwa kasus Jamaah Imran adalah rekayasa Opsus Ali Moertopo yang menerapkan teori ‘Pancing dan Jaring’. Yaitu merangkul/membina kelompok Islam yang lebih mengedepankan semangat daripada ilmu, lalu dihasut untuk melakukan kekerasan, baru kemudian ditumpas sendiri oleh Opsus.
Kelompok yang mudah dihasut oleh agen provokator, umumnya memiliki karakter yang sama dengan beberapa sifat turunan kaum Khawarij, seperti mudah menyalahkan ulama, lebih mengedepankan semangat daripada ilmu, serta mudah melakukan kekerasan.
Intelijen telah menyusupkan anggotanya ke berbagai gerakan Islam. Mereka tidak hanya bertugas untuk penyelidikan (menghimpun informasi), namun juga dapat ditugaskan untuk melakukan penggalangan (misalnya provokasi). Agen provokator adalah orang yang menyusup ke suatu kelompok untuk menghasut orang-orang di dalam kelompok tersebut, atau untuk melakukan tindakan yang akan melibatkan kelompok tersebut.
Salah satu contoh operasi provokator adalah kasus Jamaah Imran 1980 – 1981. Jamaah Imran adalah kelompok pemuda Bandung yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein. Mereka berkumpul akibat kecewa terhadap sikap ulama (seperti Natsir dan Hamka) yang dianggap tidak tegas menolak rencana pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Intelijen kemudian menyusupkan Najamuddin alias Johny ke dalam Jamaah Imran. Najamuddin menghasut Jamaah Imran untuk melakukan perlawanan terhadap ABRI. Ia memberikan setumpuk dokumen aspal dari Mabes ABRI dan CSIS yang berisi rencana ABRI untuk melakukan de-islamisasi di Indonesia.
Jamaah Imran sebelumnya sudah membenci Orde Baru akibat ditahannya ratusan muslim terkait Komando Jihad (hasil Opsus Ali Moertopo). Najamuddin lalu mengusulkan pembajakan pesawat sebagai sarana pengumuman kepada dunia tentang adanya gerakan Islam di Indonesia dan kekejaman rezim militer Orde Baru terhadap umat Islam. Najamuddin berhasil membujuk Jamaah Imran untuk merampas senjata di polsek Cicendo. Tiga polisi terbunuh dalam peristiwa tersebut, sehingga Jamaah Imran pun diburu aparat. Lima anggota Jamaah Imran kemudian membajak pesawat Woyla pada 1981. Para pembajak akhirnya dibunuh oleh pasukan khusus ABRI.
Dalam buku “Imran: Dari Hukum Sampai Islam” yang diterbitkan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, disebutkan bahwa peran Najamuddin sebagai anggota intelijen ABRI yang menyusup dan memprovokasi Jamaah Imran telah diungkap dalam persidangan. Salah satu saksi, Umar Abduh, juga mengungkapkan jebakan yang telah dilakukan intelijen. Namun hakim ketua dalam sidang saat itu malah memberi jawaban: “… pemerintah memang sengaja menjebak anda untuk kepentingan negara.”
Soemitro dalam biografinya “Soemitro, Mantan Pangkopkamtib: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib” menyebutkan bahwa kasus Jamaah Imran adalah rekayasa Opsus Ali Moertopo yang menerapkan teori ‘Pancing dan Jaring’. Yaitu merangkul/membina kelompok Islam yang lebih mengedepankan semangat daripada ilmu, lalu dihasut untuk melakukan kekerasan, baru kemudian ditumpas sendiri oleh Opsus.
Kelompok yang mudah dihasut oleh agen provokator, umumnya memiliki karakter yang sama dengan beberapa sifat turunan kaum Khawarij, seperti mudah menyalahkan ulama, lebih mengedepankan semangat daripada ilmu, serta mudah melakukan kekerasan.
3. Agent of Influence
Agent of Influence adalah orang yang mempunyai kedudukan penting dalam suatu masyarakat atau kelompok, sehingga dapat digunakan intelijen untuk mengarahkan opini masyarakat atau kebijakan kelompok tersebut. Dalam operasi penggalangan, Agent of Influence memiliki nilai yang lebih strategis (jangka panjang) daripada Agent Provocateur.
Terdapat tiga jenis Agent of Influence. Pertama, orang yang bekerja secara langsung kepada intelijen (anggota organik). Kedua, orang yang tidak bekerja secara langsung kepada intelijen (anggota jaring). Anggota jaring dapat terdiri atas wartawan, akademisi, birokrat, pengusaha, tokoh masyarakat, dan profesi lainnya. Ketiga, orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah diperalat oleh intelijen. Intelijen memperalat orang tersebut melalui pengaruh atau hasutan Agent of Influence lainnya.
Salah satu contoh penggunaan Agent of Influence adalah dalam kasus Komando Jihad. Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Ali Moertopo menugaskan Pitut Soeharto untuk melakukan penggalangan terhadap para mantan petinggi DI (Darul Islam) pada 1971. Pitut tidak perlu menyamar karena ia sejak lama sudah dikenal sebagai perwira militer yang dekat dengan kalangan Islam. Tokoh DI yang dijadikan Agent of Influence antara lain adalah Ateng Djaelani. Ateng diberi imbalan dengan menjadi penyalur minyak tanah untuk wilayah Jawa Barat atas nama perusahaan Taman Sebelas.
Dengan alasan demi membendung ancaman komunis, Opsus mengajak para mantan petinggi DI untuk membentuk laskar rakyat. Sehingga terhimpunlah ratusan orang dari berbagai daerah. Tiba-tiba, empat bulan sebelum pemilu 1977, pemerintah menangkapi ratusan anggota laskar tersebut, dan menyebut mereka sebagai Komando Jihad. Peristiwa tersebut merupakan rekayasa untuk menjatuhkan citra muslim yang terlibat politik, yang kemudian dikaitkan dengan Partai Persatuan Pembangunan.
Sebutan Komando Jihad kemudian disematkan kepada setiap gerakan yang dianggap mengancam Pancasila. Busyro Muqoddas dalam bukunya “Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad” menyebutkan bahwa Komando Jihad adalah persekongkolan intelijen untuk mempersiapkan kemenangan Golkar pada pemilu 1977. Di pengadilan, para terdakwa kasus Komando Jihad saling tuding antar sesamanya dengan menyatakan bahwa ada di antara mereka yang berkhianat dengan menjadi kaki tangan militer.
Seseorang bisa menjadi Agent of Influence antara lain dikarenakan kesamaan kepentingan, hasrat terhadap kekuasaan, serta yang paling umum adalah imbalan ekonomi. Agent of Influence dapat menimbulkan perpecahan di dalam suatu kelompok, membangun kelompok di dalam kelompok, dan bahkan menjadikan kelompok tersebut sebagai Front Organization. Front Organization adalah kelompok yang dikendalikan oleh kelompok lain (dalam bahasan ini adalah intelijen).
Agent of Influence adalah orang yang mempunyai kedudukan penting dalam suatu masyarakat atau kelompok, sehingga dapat digunakan intelijen untuk mengarahkan opini masyarakat atau kebijakan kelompok tersebut. Dalam operasi penggalangan, Agent of Influence memiliki nilai yang lebih strategis (jangka panjang) daripada Agent Provocateur.
Terdapat tiga jenis Agent of Influence. Pertama, orang yang bekerja secara langsung kepada intelijen (anggota organik). Kedua, orang yang tidak bekerja secara langsung kepada intelijen (anggota jaring). Anggota jaring dapat terdiri atas wartawan, akademisi, birokrat, pengusaha, tokoh masyarakat, dan profesi lainnya. Ketiga, orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah diperalat oleh intelijen. Intelijen memperalat orang tersebut melalui pengaruh atau hasutan Agent of Influence lainnya.
Salah satu contoh penggunaan Agent of Influence adalah dalam kasus Komando Jihad. Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Ali Moertopo menugaskan Pitut Soeharto untuk melakukan penggalangan terhadap para mantan petinggi DI (Darul Islam) pada 1971. Pitut tidak perlu menyamar karena ia sejak lama sudah dikenal sebagai perwira militer yang dekat dengan kalangan Islam. Tokoh DI yang dijadikan Agent of Influence antara lain adalah Ateng Djaelani. Ateng diberi imbalan dengan menjadi penyalur minyak tanah untuk wilayah Jawa Barat atas nama perusahaan Taman Sebelas.
Dengan alasan demi membendung ancaman komunis, Opsus mengajak para mantan petinggi DI untuk membentuk laskar rakyat. Sehingga terhimpunlah ratusan orang dari berbagai daerah. Tiba-tiba, empat bulan sebelum pemilu 1977, pemerintah menangkapi ratusan anggota laskar tersebut, dan menyebut mereka sebagai Komando Jihad. Peristiwa tersebut merupakan rekayasa untuk menjatuhkan citra muslim yang terlibat politik, yang kemudian dikaitkan dengan Partai Persatuan Pembangunan.
Sebutan Komando Jihad kemudian disematkan kepada setiap gerakan yang dianggap mengancam Pancasila. Busyro Muqoddas dalam bukunya “Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad” menyebutkan bahwa Komando Jihad adalah persekongkolan intelijen untuk mempersiapkan kemenangan Golkar pada pemilu 1977. Di pengadilan, para terdakwa kasus Komando Jihad saling tuding antar sesamanya dengan menyatakan bahwa ada di antara mereka yang berkhianat dengan menjadi kaki tangan militer.
Seseorang bisa menjadi Agent of Influence antara lain dikarenakan kesamaan kepentingan, hasrat terhadap kekuasaan, serta yang paling umum adalah imbalan ekonomi. Agent of Influence dapat menimbulkan perpecahan di dalam suatu kelompok, membangun kelompok di dalam kelompok, dan bahkan menjadikan kelompok tersebut sebagai Front Organization. Front Organization adalah kelompok yang dikendalikan oleh kelompok lain (dalam bahasan ini adalah intelijen).
B. Konspirasi yang merupakan Hoax
Hoax adalah berita palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan sehingga berita tersebut dianggap berita benar. Teori Konspirasi yang merupakan hoax, antara lain bertujuan sebagai black propaganda, yaitu untuk menjatuhkan citra pihak lawan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai distraction (pengalih perhatian) serta demoralization (menjatuhkan semangat). Dampak demoralisasi dari Teori Konspirasi yang hoax tersebut adalah tumbuhnya sifat inferiority complex, yaitu sikap mental yang rendah diri dan menganggap pihak lawan memiliki kuasa atas segala hal.
Terkait masalah kekinian, maka Teori Konspirasi yang merupakan hoax yang akan dibahas contohnya pada bagian ini adalah yang dalam bentuk black propaganda, terutama yang berhubungan dengan ISIS.
Banyak hoax dan Teori Konspirasi yang menyinggung ISIS. Sebagian di antara hoax tersebut dapat dilihat di sini: Berita Bohong Untuk Hancurkan Daulah Khilafah. Tulisan ini hanya akan membahas dua contoh Teori Konspirasi yang hoax tentang ISIS, yaitu pernyataan Edward Snowden dan Hillary Clinton bahwa ISIS adalah buatan Amerika Serikat (AS).
Media Iran, Fars News, mempopulerkan berita bahwa ISIS adalah bagian dari operasi intelijen AS dan Israel dengan sandi Hornet’s Nest. Berita ini dikatakan bersumber dari Edward Snowden, mantan anggota intelijen AS. Namun Snowden tidak memberikan bukti atas teori tersebut. Bahkan tidak ada bukti bahwa Snowden pernah mengeluarkan teori tersebut. Glenn Greenwald, wartawan yang membantu penerbitan dokumen rahasia Snowden, menyatakan bahwa Snowden belum pernah membuat pernyataan atau mengeluarkan dokumen tentang ISIS. Pengacara Snowden, Ben Wizner, juga mengatakan bahwa berita tersebut hanya hoax.
Sedangkan pernyataan Hillary bahwa ISIS adalah buatan AS, pertama kali beredar di media sosial Lebanon. Teori ini mengambil rujukan pada pernyataan Hillary dalam bukunya “Hard Choices”. Padahal Hillary tidak menulis hal tersebut, melainkan menyatakan bahwa “the failure to help Syrian rebels led to the rise of ISIS.” Hillary menyatakan bahwa kegagalan AS dalam memperkuat pemberontak Suriah, secara tidak langsung akan memperkuat kedudukan ISIS. Tidak segera ditumbangkannya rezim Assad telah menimbulkan kekacauan berkepanjangan dan wilayah-wilayah tanpa pengendali yang kokoh. Sehingga ISIS kemudian dapat mengambil alih wilayah tersebut.
Dua contoh Teori Konspirasi yang hoax tersebut disebarkan oleh media massa Syiah Iran dan media sosial Syiah Lebanon. Keduanya merupakan black propaganda karena Syiah termasuk yang dirugikan dengan keberadaan ISIS. Media Iran sudah sering menyebarkan hoax, seperti berita jihad seks di Suriah pada 2013, serta fatwa ulama Arab Saudi pada April 2015 yang membolehkan suami memakan istrinya. Fars News juga pernah mengeluarkan berita yang menyebutkan bahwa pemerintahan AS sejatinya dikendalikan oleh mahluk luar angkasa. Berita tersebut pun dikatakan bersumber dari Snowden.
Hoax adalah berita palsu yang sengaja dibuat dan disebarkan sehingga berita tersebut dianggap berita benar. Teori Konspirasi yang merupakan hoax, antara lain bertujuan sebagai black propaganda, yaitu untuk menjatuhkan citra pihak lawan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai distraction (pengalih perhatian) serta demoralization (menjatuhkan semangat). Dampak demoralisasi dari Teori Konspirasi yang hoax tersebut adalah tumbuhnya sifat inferiority complex, yaitu sikap mental yang rendah diri dan menganggap pihak lawan memiliki kuasa atas segala hal.
Terkait masalah kekinian, maka Teori Konspirasi yang merupakan hoax yang akan dibahas contohnya pada bagian ini adalah yang dalam bentuk black propaganda, terutama yang berhubungan dengan ISIS.
Banyak hoax dan Teori Konspirasi yang menyinggung ISIS. Sebagian di antara hoax tersebut dapat dilihat di sini: Berita Bohong Untuk Hancurkan Daulah Khilafah. Tulisan ini hanya akan membahas dua contoh Teori Konspirasi yang hoax tentang ISIS, yaitu pernyataan Edward Snowden dan Hillary Clinton bahwa ISIS adalah buatan Amerika Serikat (AS).
Media Iran, Fars News, mempopulerkan berita bahwa ISIS adalah bagian dari operasi intelijen AS dan Israel dengan sandi Hornet’s Nest. Berita ini dikatakan bersumber dari Edward Snowden, mantan anggota intelijen AS. Namun Snowden tidak memberikan bukti atas teori tersebut. Bahkan tidak ada bukti bahwa Snowden pernah mengeluarkan teori tersebut. Glenn Greenwald, wartawan yang membantu penerbitan dokumen rahasia Snowden, menyatakan bahwa Snowden belum pernah membuat pernyataan atau mengeluarkan dokumen tentang ISIS. Pengacara Snowden, Ben Wizner, juga mengatakan bahwa berita tersebut hanya hoax.
Sedangkan pernyataan Hillary bahwa ISIS adalah buatan AS, pertama kali beredar di media sosial Lebanon. Teori ini mengambil rujukan pada pernyataan Hillary dalam bukunya “Hard Choices”. Padahal Hillary tidak menulis hal tersebut, melainkan menyatakan bahwa “the failure to help Syrian rebels led to the rise of ISIS.” Hillary menyatakan bahwa kegagalan AS dalam memperkuat pemberontak Suriah, secara tidak langsung akan memperkuat kedudukan ISIS. Tidak segera ditumbangkannya rezim Assad telah menimbulkan kekacauan berkepanjangan dan wilayah-wilayah tanpa pengendali yang kokoh. Sehingga ISIS kemudian dapat mengambil alih wilayah tersebut.
Dua contoh Teori Konspirasi yang hoax tersebut disebarkan oleh media massa Syiah Iran dan media sosial Syiah Lebanon. Keduanya merupakan black propaganda karena Syiah termasuk yang dirugikan dengan keberadaan ISIS. Media Iran sudah sering menyebarkan hoax, seperti berita jihad seks di Suriah pada 2013, serta fatwa ulama Arab Saudi pada April 2015 yang membolehkan suami memakan istrinya. Fars News juga pernah mengeluarkan berita yang menyebutkan bahwa pemerintahan AS sejatinya dikendalikan oleh mahluk luar angkasa. Berita tersebut pun dikatakan bersumber dari Snowden.
C. Generalisasi dalam Teori Konspirasi
Teori Konspirasi ada yang telah terbukti sebagai konspirasi intelijen, ada yang ternyata hanya hoax, dan ada yang merupakan generalisasi (penyamarataan). Generalisasi dalam hal ini adalah mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pada satu atau sebagian kecil unsur penyusun suatu peristiwa.
Generalisasi yang harus dihindari adalah menyimpulkan bahwa setiap hubungan politik antar kelompok merupakan hubungan antara atasan dengan bawahan. Selain itu juga harus dihindari generalisasi yang menyimpulkan bahwa tidak ada penelikungan (satu pihak mengambil manfaat dengan merugikan pihak lainnya) dalam hubungan antar kelompok yang setara. Apalagi jika terdapat peran ganda (resmi dan tersembunyi) dalam hubungan tersebut.
Teori Konspirasi ada yang telah terbukti sebagai konspirasi intelijen, ada yang ternyata hanya hoax, dan ada yang merupakan generalisasi (penyamarataan). Generalisasi dalam hal ini adalah mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pada satu atau sebagian kecil unsur penyusun suatu peristiwa.
Generalisasi yang harus dihindari adalah menyimpulkan bahwa setiap hubungan politik antar kelompok merupakan hubungan antara atasan dengan bawahan. Selain itu juga harus dihindari generalisasi yang menyimpulkan bahwa tidak ada penelikungan (satu pihak mengambil manfaat dengan merugikan pihak lainnya) dalam hubungan antar kelompok yang setara. Apalagi jika terdapat peran ganda (resmi dan tersembunyi) dalam hubungan tersebut.
1. Hubungan politik antar kelompok
Generalisasi dalam Teori Konspirasi terutama mengenai hubungan antar kelompok. Saat dua atau lebih kelompok melakukan kerja sama, maka dilakukan generalisasi bahwa kelompok yang kuat memiliki kedudukan sebagai atasan bagi kelompok lainnya. Padahal tidak semua kerja sama antar kelompok menggunakan hubungan atasan dengan bawahan. Sebagian diantaranya menggunakan hubungan yang setara, walaupun ada pihak yang lebih kuat dalam kerja sama tersebut.
Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Vladimir Lenin dengan Kerajaan Jerman pada Perang Dunia I (1914 – 1918). Kerajaan Rusia runtuh dan digantikan Republik Rusia pada Revolusi Februari 1917. Namun Republik Rusia masih terlibat perang dengan Kerajaan Jerman. Sehingga Jerman pun membantu Lenin kembali ke Rusia untuk melawan Republik Rusia. Bantuan dana dari Jerman turut membantu Lenin dan partai Bolsheviks dalam melancarkan Revolusi Oktober 1917 yang menjatuhkan Republik Rusia dan melahirkan Uni Soviet. Uni Soviet kemudian melakukan perjanjian damai dengan Jerman. Namun Lenin dan Uni Soviet tetap berdaulat, serta tidak menjadi bawahan Jerman.
Salah satu Teori Konspirasi menyebutkan bahwa Al-Qaeda adalah buatan Amerika Serikat (AS). Kesimpulan tersebut dikarenakan saat Perang Soviet-Afghan (1979 – 1989), terjadi kerja sama (pelatihan, dana, dan senjata) antara AS dengan orang-orang yang di kemudian hari mendirikan Al-Qaeda. Namun kesimpulan tersebut merupakan generalisasi. Saat Perang Soviet-Afghan, AS tidak berkedudukan sebagai atasan mujahidin Afghanistan. Kerja sama tersebut hanya sementara karena adanya kesamaan kepentingan (musuh bersama). Sehingga tidak aneh ketika Perang Soviet-Afghan berakhir, mujahidin Afghan yang berada dalam jaring Al-Qaeda kemudian berbalik menyerang AS.
Generalisasi dalam Teori Konspirasi terutama mengenai hubungan antar kelompok. Saat dua atau lebih kelompok melakukan kerja sama, maka dilakukan generalisasi bahwa kelompok yang kuat memiliki kedudukan sebagai atasan bagi kelompok lainnya. Padahal tidak semua kerja sama antar kelompok menggunakan hubungan atasan dengan bawahan. Sebagian diantaranya menggunakan hubungan yang setara, walaupun ada pihak yang lebih kuat dalam kerja sama tersebut.
Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Vladimir Lenin dengan Kerajaan Jerman pada Perang Dunia I (1914 – 1918). Kerajaan Rusia runtuh dan digantikan Republik Rusia pada Revolusi Februari 1917. Namun Republik Rusia masih terlibat perang dengan Kerajaan Jerman. Sehingga Jerman pun membantu Lenin kembali ke Rusia untuk melawan Republik Rusia. Bantuan dana dari Jerman turut membantu Lenin dan partai Bolsheviks dalam melancarkan Revolusi Oktober 1917 yang menjatuhkan Republik Rusia dan melahirkan Uni Soviet. Uni Soviet kemudian melakukan perjanjian damai dengan Jerman. Namun Lenin dan Uni Soviet tetap berdaulat, serta tidak menjadi bawahan Jerman.
Salah satu Teori Konspirasi menyebutkan bahwa Al-Qaeda adalah buatan Amerika Serikat (AS). Kesimpulan tersebut dikarenakan saat Perang Soviet-Afghan (1979 – 1989), terjadi kerja sama (pelatihan, dana, dan senjata) antara AS dengan orang-orang yang di kemudian hari mendirikan Al-Qaeda. Namun kesimpulan tersebut merupakan generalisasi. Saat Perang Soviet-Afghan, AS tidak berkedudukan sebagai atasan mujahidin Afghanistan. Kerja sama tersebut hanya sementara karena adanya kesamaan kepentingan (musuh bersama). Sehingga tidak aneh ketika Perang Soviet-Afghan berakhir, mujahidin Afghan yang berada dalam jaring Al-Qaeda kemudian berbalik menyerang AS.
2. Peran Ganda yang Membuka Peluang Konspirasi
Namun tidak menutup kemungkinan, pernah terjalinnya kerja sama akan menghasilkan saluran komunikasi antar pribadi atau faksi di masing-masing pihak. Contohnya adalah hubungan antara militer Pakistan dengan Al-Qaeda, Taliban Afghanistan, dan Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP).
Saat Perang Soviet-Afghan, Jenderal Muhammad Zia ul-Haq (presiden Pakistan 1977 – 1988) menjadikan Pakistan sebagai tempat pelatihan bagi mujahidin Afghan. Zia ul-Haq dekat dengan kalangan Islam. Ribuan aktivis dan simpatisan partai Jamaat Islami dimasukkan dalam pemerintahan Pakistan. Namun Zia dan beberapa petinggi militernya terbunuh dalam kecelakaan pesawat pada 1988. Setelah wafatnya Zia, militer Pakistan dipimpin orang-orang yang berseberangan dengan Jamaat Islami. Pada 1992, pemerintahan komunis Afghanistan berhasil dikalahkan mujahidin, sehingga berdirilah Daulah Islam Afghanistan dengan presidennya adalah Burhanuddin Rabbani.
Rabbani berasal dari Jamaat Islami, sehingga tidak disukai militer Pakistan. Hubungan Jamaat Islami dengan Ikhwanul Muslimin juga membuat Arab Saudi tidak mendukung Rabbani. Pakistan pun membantu Hekmatyar yang memberontak terhadap Rabbani. Pakistan juga membantu pemberontakan Taliban (yang kemudian didukung Al Qaeda) sehingga pemerintahan Rabbani akhirnya jatuh pada 1996. Namun hubungan antara Pakistan dengan Taliban dan Al Qaeda bukanlah hubungan antara atasan dengan bawahan. Taliban pun terdiri atas beberapa kelompok yang tidak semuanya memiliki hubungan baik dengan militer Pakistan.
Ketika pemerintahan Taliban (Emirat Islam Afghanistan) tumbang pada 2001 akibat serangan AS dan sekutunya. Sebagian Taliban dan Al Qaeda mengungsi ke wilayah suku-suku semi-otonom di barat laut Pakistan. Jenderal Pervez Musharraf (presiden Pakistan 2001 – 2008) khawatir wilayah tersebut akan diambil alih Taliban dan Al Qaeda. Sehingga pada 2002, untuk pertama kalinya sejak Pakistan merdeka pada 1947, militer Pakistan masuk ke wilayah tersebut. Namun hal tersebut menimbulkan perlawanan Taliban Pakistan. Taliban Pakistan berhasil menguasai sebagian besar wilayah tersebut pada 2004, dan kemudian membentuk Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP) pada 2007.
Namun militer Pakistan pun terdiri atas faksi-faksi. Mereka telah lama menjalin hubungan dengan Taliban dan Al- Qaeda. Sehingga ketika secara resmi militer Pakistan bertempur melawan TTP dan Al-Qaeda, ada faksi dalam militer dan intelijen Pakistan (ISI) yang tetap melakukan kerja sama dengan beberapa tokoh TTP dan Al Qaeda.
Matt Waldman, analis International Security Program, dalam laporannya di Crisis States Research Centre menyebutkan bahwa militer Pakistan memainkan peran ganda terhadap Al-Qaeda. Secara resmi mereka menerima dana dari AS untuk memerangi Al-Qaeda, namun secara tersembunyi mereka juga menjalin kerja sama dengan beberapa tokoh Al-Qaeda.
Peran ganda yang dilakukan militer (terutama intelijen) terhadap kelompok bersenjata, akan membuka peluang terjadinya konspirasi. Masing-masing pihak berusaha mengambil manfaat lebih atas pihak lainnya. Pada peristiwa konspirasi, saat satu pihak mendapat manfaat lebih, maka pihak lainnya akan mengalami kerugian. Intelijen dengan kelebihan sumber dayanya, biasanya akan menjadi pihak yang lebih banyak mengambil manfaat.
3. Memilah Generalisasi pada Teori Konspirasi
Namun tidak menutup kemungkinan, pernah terjalinnya kerja sama akan menghasilkan saluran komunikasi antar pribadi atau faksi di masing-masing pihak. Contohnya adalah hubungan antara militer Pakistan dengan Al-Qaeda, Taliban Afghanistan, dan Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP).
Saat Perang Soviet-Afghan, Jenderal Muhammad Zia ul-Haq (presiden Pakistan 1977 – 1988) menjadikan Pakistan sebagai tempat pelatihan bagi mujahidin Afghan. Zia ul-Haq dekat dengan kalangan Islam. Ribuan aktivis dan simpatisan partai Jamaat Islami dimasukkan dalam pemerintahan Pakistan. Namun Zia dan beberapa petinggi militernya terbunuh dalam kecelakaan pesawat pada 1988. Setelah wafatnya Zia, militer Pakistan dipimpin orang-orang yang berseberangan dengan Jamaat Islami. Pada 1992, pemerintahan komunis Afghanistan berhasil dikalahkan mujahidin, sehingga berdirilah Daulah Islam Afghanistan dengan presidennya adalah Burhanuddin Rabbani.
Rabbani berasal dari Jamaat Islami, sehingga tidak disukai militer Pakistan. Hubungan Jamaat Islami dengan Ikhwanul Muslimin juga membuat Arab Saudi tidak mendukung Rabbani. Pakistan pun membantu Hekmatyar yang memberontak terhadap Rabbani. Pakistan juga membantu pemberontakan Taliban (yang kemudian didukung Al Qaeda) sehingga pemerintahan Rabbani akhirnya jatuh pada 1996. Namun hubungan antara Pakistan dengan Taliban dan Al Qaeda bukanlah hubungan antara atasan dengan bawahan. Taliban pun terdiri atas beberapa kelompok yang tidak semuanya memiliki hubungan baik dengan militer Pakistan.
Ketika pemerintahan Taliban (Emirat Islam Afghanistan) tumbang pada 2001 akibat serangan AS dan sekutunya. Sebagian Taliban dan Al Qaeda mengungsi ke wilayah suku-suku semi-otonom di barat laut Pakistan. Jenderal Pervez Musharraf (presiden Pakistan 2001 – 2008) khawatir wilayah tersebut akan diambil alih Taliban dan Al Qaeda. Sehingga pada 2002, untuk pertama kalinya sejak Pakistan merdeka pada 1947, militer Pakistan masuk ke wilayah tersebut. Namun hal tersebut menimbulkan perlawanan Taliban Pakistan. Taliban Pakistan berhasil menguasai sebagian besar wilayah tersebut pada 2004, dan kemudian membentuk Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP) pada 2007.
Namun militer Pakistan pun terdiri atas faksi-faksi. Mereka telah lama menjalin hubungan dengan Taliban dan Al- Qaeda. Sehingga ketika secara resmi militer Pakistan bertempur melawan TTP dan Al-Qaeda, ada faksi dalam militer dan intelijen Pakistan (ISI) yang tetap melakukan kerja sama dengan beberapa tokoh TTP dan Al Qaeda.
Matt Waldman, analis International Security Program, dalam laporannya di Crisis States Research Centre menyebutkan bahwa militer Pakistan memainkan peran ganda terhadap Al-Qaeda. Secara resmi mereka menerima dana dari AS untuk memerangi Al-Qaeda, namun secara tersembunyi mereka juga menjalin kerja sama dengan beberapa tokoh Al-Qaeda.
Peran ganda yang dilakukan militer (terutama intelijen) terhadap kelompok bersenjata, akan membuka peluang terjadinya konspirasi. Masing-masing pihak berusaha mengambil manfaat lebih atas pihak lainnya. Pada peristiwa konspirasi, saat satu pihak mendapat manfaat lebih, maka pihak lainnya akan mengalami kerugian. Intelijen dengan kelebihan sumber dayanya, biasanya akan menjadi pihak yang lebih banyak mengambil manfaat.
3. Memilah Generalisasi pada Teori Konspirasi
Generalisasi dalam Teori Konspirasi kerap menempatkan kelompok muslim bersenjata sebagai Front Organization intelijen. Intelijen dengan sumber daya yang dimilikinya mampu menyusupkan agen-agennya ke gerakan Islam, termasuk ke kelompok muslim bersenjata.
Namun agen penyusup (infiltran) tersebut tidak serta merta menjadi Agent of Influence bagi kelompok yang disusupinya. Kalaupun ada Agent of Influence dalam suatu gerakan Islam, maka tidak berarti gerakan tersebut langsung berubah menjadi Front Organization intelijen.
Agen penyusup umumnya berperan sebagai penyelidik (menghimpun informasi). Suatu konspirasi pun dapat intelijen lakukan hanya dengan keberadaan agen penyusup yang berfungsi sebagai penyelidik, tanpa harus mengubah kelompok yang disusupinya menjadi Front Organization intelijen.
Intelijen dapat mengetahui rencana kelompok bersenjata yang akan menyerang suatu sasaran. Namun karena intelijen memiliki kepentingan dan rencana masa depan yang berbeda, maka mereka membiarkan rencana kelompok bersenjata tersebut. Intelijen bahkan membuat serangan tersebut menjadi lebih besar, sehingga dampak politis yang dihasilkannya juga akan lebih luas.
Pola ini antara lain disebutkan Professor David Ray Griffin dalam bukunya “The New Pearl Harbor: Disturbing Questions About the Bush Administration and 9/11” terkait peristiwa Serangan 11 September 2001 yang dilakukan Al-Qaeda terhadap gedung WTC di New York, AS.
Wiji Hartono,
Analis dan Pakar Dunia Islam
Analis dan Pakar Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar