Telah puluhan tahun dikaji, alam semesta masih menyimpan banyak misteri. Serangkaian kemajuan sains mutakhir baru dapat menjelaskan sebagian kecil isi jagat raya. Sisanya, lebih dari 95%, masih berupa materi dan energi gelap.
Menjelang akhir Juli, masyarakat astronomi dunia berkumpul di Sheffield, Inggris. Mereka menggelar The 11th Identification of Dark Matter Conference 2016. Di arena ini, mereka bertukar informasi tentang kajian mutakhir tentang materi dan energi gelap, materi misterius yang muncul dan menyusun lebih dari empat perlima dari massa alam semesta.
Menurut Gray Rybka dan Leslie Rosenberg, fisikawan dari Universitas Washington, aebagian besar alam semesta terdiri dari materi dan energi gelap. Porsinya mencapai 95,1%. ‘’Yang terbanyak berupa energy gelap, mencapai 68,3% dan dipercaya mewakili kekuatan misterius yang mendorong percepatan ekspansi alam semesta,’’ ungkap Rybka.
Bahan terbesar berikutnya, tambahnya, adalah materi gelap. Jumlahnya mencapai 26,8%, yang hanya berinteraksi dengan seluruh alam semesta melalui gravitasi. Materi normal yang kita kenal, termasuk semua penyusun benda langit, planet, bintang, dan galaksi, hanya mencakup sekitar 4,9% persen dari total massa alam semesta.
Para astronom, jelas Rosenberg, tidak dapat melihat materi gelap langsung, tetapi dapat mempelajari dampaknya. Mereka dapat mendeteksinya dari fenomena lengkungan cahaya dari efek gravitasi benda tak tampak yang disebut lensa gravitasi. Mereka juga dapat mengukurnya melalui aktivitas bintang-bintang yang mengorbit di sekitar galaksi yang ternyata juga lebih cepat bergerak dari yang seharusnya.
Informasi itu semua mengarah pada kesimpulan bahwa ada sejumlah besar materi dan energi tak tampak yang mengisi setiap galaksi, dan bahkan berkontribusi menentukan masa total dan laju rotasinya, kata Rick Gaitskell, astrofisikawan Universitas Brown sekaligus juru bicara LUX [Large Underground Xenon], lembaga yang berupaya mendeteksi langsung fenomana materi gelap secara eksperimental dalam 20 bulan terakhir.
Materi Gelap
Pemikiran adanya materi gelap secara terori muncul tahun 1933. Kala itu, astronom Fritz Zwicky sedang mempelajari klaster galaksi Coma. Dia menengarai bahwa materi yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecepatan orbital galaksi tidak mencerminkan jumlah materi yang secara visual terdeteksi. Ini mengisyaratkan adanya materi yang hilang. Pengamatan serupa diungkap banyak astronom lain melalui riset-riset astrofisika berikutnya sehigga muncul istilah dark matter atau materi gelap.
Menurut Gaitskell, untuk sementara, para astronom punya beberapa kesamaan pandangan. Pertama, bahwa materi gelap itu tdak memancarkan cahaya. Karenanya, tidak pula dapat dilihat secara langsung, sehingga tidak bisa menjadi bintang atau planet.
Kedua, materi gelap juga bukan awan materi normal. Materi normal tersusun atas partikel yang disebut baryon. Jika materi gelap yang terdiri dari baryon, kehadirannya akan terdeteksi melalui cahaya yang dipantulkan.
Ketiga, materi gelap bukan zat antimateri. Zat antimateri dapat meluruh saat kontak atau bertumbukan dan menghasilkan sinar gamma. Sejauh ini, para astronom tidak mendeteksi adanya pancaran sinar gama dari materi gelap.
Keempat, materi gelap juga bukan lubang hitam. Lubang hitam adalah lensa gravitasi yang membelokan cahaya. Para astronom sejauh tidak melihat adanya fenomena lensa gravitasi saat memperhitungkan adanya materi gelap.
Para ahli percaya, struktur di alam semesta awalnya terbentuk dari skala terkecil. Konsentrasi materi gelap pertama diyakini membentuk semacam “perancah” bagi materi normal saat bentuk galaksi dan cluster bintang. Ukuran galaksi dan kuster bintang terbentuk seiring dengan tingkat kepekatan materi gelap. Materi gelap mengikat bintang-bintang dan planet-planet dalam satu galaksi melalui medan gravitasi.
Energi Gelap
Pada 1990, dua tim astronom dari Proyek Kosmologi Supernova dari Lawrence Berkeley National Laboratory) berupaya mengukur tingkat ekspansi alam semesta melalui fenomena Supernova. Mereka menduga ada supernova lebih terang sebagai indikasi ekspansi melambat. Hasilnya, ternyata terbalik. Mereka justru menemukan supernova yang lebh redup dari yang diharapkan. Ini membuktikan bahwa perluasan alam semesta mengalami percepatan! Fenomena ini berlawanan dengan akal sehat yang menduga ekspansi melambat karena pengaruh waktu dan gravitasi.
Selain itu, pengukuran gelombang mikro kosmik menunjukkan bahwa alam semesta memiliki geometri datar dalam skala besar. Karena tidak ada cukup materi di alam semesta – materi biasa atau gelap – untuk menghasilkan kerataan ini, maka perbedaan itu mengaharuskan adanya “energi gelap” (dark energy) yang menstimulai percepatan ekspansi alam semesta. Belakangan muncul teori bahwa alam semesta punya sejarah ekspansi yang berbeda. Pada separuh waktunya, sejak Big Bang terjadi, alam semesta ini berkembang melambat. Tetapi, sejak 7 milyar lalu, ekspansi semesta kemudian terjadi lebih cepat atau mengalami akselerasi karena hadirnya energi gelap.
Beberapa astronom mengidentifikasi energi gelap dengan konstanta Einstein melalui teori Relativitas Umums. Setelah penemuan Edwin Hubble yang membuktikn perluasan alam semesta, kontanta Einstein goyah dan tergeser oleh teori kuantum. Menurut teori ini, energi gelap terbentuk ketika partikel subatomik neutrino dan antineutrino bergabung. Belakangan, fisikawan Chandrasekhar (India) memperbaikinya dengan teori Konstanta Kosmologi.
Bukti Eksperimental
Untuk memburu materi dan energi gelap. para ilmuwan telah menggunakan berbagai upaya dan teknik yang melibatkan aneka disiplin ilmu. Antara lain perangkat penumbuk partikel seperti Large Hadron Collider; instrumen kosmologi seperti WMAP dan Planck; percobaan deteksi langsung termasuk CDMS, XENON, Large Underground Xenon (LUX), Zeplin, WARP, ArDM dan lain-lain; ekspermen deteksi tak langsung termasuk detektor sinar Gamma (Fermilab dan Teleskop Cherenkov); teleskop neutrino (IceCube, Antares); dan detektor antimateri (Pamela, AMS-02) X-ray.
“LUX telah menyajikan pencarian dengan sensitivitas terbaik di dunia sejak 2013,” kata Rick Gaitskell, astrofisikawan juru bicara LUX [Large Underground Xenon]. “Belakangan, para ilmuwan kolborator LUX telah berhasil meningkatkan sensitivitas instrumen hingga empat kali lebih tinggi dari rancangan awalnya,’’ tambah dia.
Menurutnya, LUX dirancang untuk mencari partikel dasar materi gelap yang disebut WIMPs (weakly interacting massive particles). Submateri ini berukuran 10-100 kali massa proton, tetapi hanya berinteraksi sangat lemah dengan materi biasa. Ini pula yang menjelaskan mengapa para ilmuwan tidak dapat dengan mudah mendeteksi eksistensi mereka. Kebanyakan partikel, seperti sinar kosmik yang terus-menerus mengalir ke Bumi, akan dihentikan oleh perisai air dan batuan sekitar detektor. Tetapi, WIMP mampu menembus perisai itu. Para peneliti dapat mengamatinya melalui fenomena tumbukan atom xenon melalui sinyal cahaya yang dilepaskan dan tertangkap oleh xenon cair yang transparan.
Selama 20 bulan, para peneliti bereksperimen dengan detektor LUX. Sejumlah besar data dianalisis untuk mengetahui jejak WIMP. Sayang, hasilnya ternyata masih masih negatif. Ada dugaan ini akibat detektor yang kurang sensitif. Maka, ke depan, para kolabolator akan terus memutakhirkan detektor tersebut hingga ratusan kali lebih teliti.
Meski peluangnya hanya beberapa sinyal per abad per kilogram xenon, para peneliti optimis akan menemukan partikel materi gekap itu pada waktunya. “Alam belum bersahabat, tapi kelak sinyal positif pasti akan kita dapatkan,” ungkap Cham Ghag, fisikawan University College London dan kolaborator LUX, penuh harap.
Sumber : GontorNews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar