Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian IPB Prof Made Astawan mengungkapkan keunggulan tempe sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia memiliki khasiat meningkatkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah kankar payudara.
"Sistem imun yang baik mencegah kita terkena penyakit yang menular atau tidak menular. Dalam salah satu riset kami, mengkonsumsi tempe dan olahannya terus menerus sejak haid pertama (menarche) mampu mencegah terkena kanker payudara," kata Made, dalam orasi ilmiahnya di Kampus IPB, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/4).
Ia menyebutkan, di antara berbagai pangan tradisional Indonesia, hanya tempet yang memiliki bukti ilmiah terbanyak terkait khasiatnya. Pangan olahan kedelai tersebut mengandung komponen fungsional berupa vitamin, mineral, asam lemak tidak jenuh, peptida dan asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, isoflavon, fitosterol dan lainnya.
Proses fermentasi kendelai lanjutnya, menjadikan tempe salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang harus dibanggakan dan dilestrikan. Berdasarkan catatan sejarah, tempe telah dikenal sejak abad ke-16. Terbukti mengandung zat gizi dan non gizi yang sangat bermanfaat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan manusia. "Saat ini tempe tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di 27 negara lain di dunia," katanya.
Sayangnya lanjut dia, proses pembuatan tempe di Indonesia masih banyak yang kurang higienis sehingga tidak sesuai dengan pesyaratan mutu nasional dan regional Asia. Lebih dari 99 persen pengrajin tempe yang produknya belum memenuhi persyaratan mutu.
Bagi bangsa Indonesia, tempe memiliki nilai yang sangat strategis. Tempe dibuat melalui proses fermentasi kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp. Budaya memproduksi dan mengkonsumsi tempe telah memberikan andil besar dalam perekonomian bangsa.
Menurutnya, perlu ada pembinaan agar proses produksi tempe di tingkat pengrajin dilakukan secara benar sesuai dengan ketentuan good manufacturing practices' (GMP). Proses produksi tempe secara higienis akan menghasilkan produk sesuai standar, sehingga siap berkompetisi tingkat nasional, regional maupun internasional.
Saat ini jumlah pengrajin tempe di Indonesia mencapai lebih dari 100 ribu unit, yang terutama tersebar di 18 provinsi dan 177 kabupaten/kota. Sebagian besar produsen tempe merupakan usaha mikro, kecil dan menengah yang menggunakan rumah sebagai tempat produksinya
"Pemakaian bahan baku kedelai per unit produksi umumnya berkisar antara 50-200 kg, dengan keuntungan bersih Rp100m- 400 ribu per hari. Dengan demikian usha tempe memiliki kontribusi nyata dalam pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia," katanya.
Wayan memaparkan, Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia. Kebutuhan kedelai Indonesi dewasa ini mencapai 2,72 juta ton per tahun, yang dipenuhi oleh produksi dalam negeri sebanyak 0,62 juta ton dan impor 2,1 juta ton. Sebanyak 90 persen dari kendelai nasional digunakan pangan, dan 10 persen sisanya untuk pakan serta benih.
Dalam konteks pangan, lanjutnya, sebanyak 70 persen kedelain digunakan untuk bahan baku tempe, 25 persen untuk tahun dan lima persen sisanya untuk produk pangan lainnya Produksi tempe nasional saat ini diperkirakan mencapai 2,6 juta ton per tahun, dengan konsumsi rata-rata sebesar 10,1 kg per kapita per tahun.
"Kebutuhan tempe meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan perkapita, kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya industri pangan menggunakan tempe," katanya.
Dalam materi orasinya yang berjudul "Tempe Sebagai Warisan Budaya dan Pangan Fungsional Persembahan dari Indonesia untuk Dunia", Prof Made mengusulkan tujuh strategi menciptakan industri tempe nasional yang tangguh.
Strategi tersebut yakni peningkatan produksi kedelai nasional, pemenuhan persyaratan mutu tempe nasional dan internasional, perbaikan proses pembuatan tempe di tingkat pengrajin, penganekaragaman produk olahan tempe berorientasi ekspor, pengkajian ilmiah khasiat tempe untuk kesehatan, peningkatan inovasi dan citra tempe di tingkat internasional serta perbaikan atas mispersepsi terhadap tempe.
"Melalui produksi tempe secara higienis, paling tidak tiga ari 17 tujuan SDGs akan tercapai, yakni mencegah kelaparan, meningkatkan kesehatan dan menghapus kemiskinan. Tempe tidak dapat dipandang remeh, maka perlu pemikiran strategis untuk mengembangkannya lebih kompetitif," kata Made.
"Sistem imun yang baik mencegah kita terkena penyakit yang menular atau tidak menular. Dalam salah satu riset kami, mengkonsumsi tempe dan olahannya terus menerus sejak haid pertama (menarche) mampu mencegah terkena kanker payudara," kata Made, dalam orasi ilmiahnya di Kampus IPB, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/4).
Ia menyebutkan, di antara berbagai pangan tradisional Indonesia, hanya tempet yang memiliki bukti ilmiah terbanyak terkait khasiatnya. Pangan olahan kedelai tersebut mengandung komponen fungsional berupa vitamin, mineral, asam lemak tidak jenuh, peptida dan asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, isoflavon, fitosterol dan lainnya.
Proses fermentasi kendelai lanjutnya, menjadikan tempe salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang harus dibanggakan dan dilestrikan. Berdasarkan catatan sejarah, tempe telah dikenal sejak abad ke-16. Terbukti mengandung zat gizi dan non gizi yang sangat bermanfaat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan manusia. "Saat ini tempe tidak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di 27 negara lain di dunia," katanya.
Sayangnya lanjut dia, proses pembuatan tempe di Indonesia masih banyak yang kurang higienis sehingga tidak sesuai dengan pesyaratan mutu nasional dan regional Asia. Lebih dari 99 persen pengrajin tempe yang produknya belum memenuhi persyaratan mutu.
Bagi bangsa Indonesia, tempe memiliki nilai yang sangat strategis. Tempe dibuat melalui proses fermentasi kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp. Budaya memproduksi dan mengkonsumsi tempe telah memberikan andil besar dalam perekonomian bangsa.
Menurutnya, perlu ada pembinaan agar proses produksi tempe di tingkat pengrajin dilakukan secara benar sesuai dengan ketentuan good manufacturing practices' (GMP). Proses produksi tempe secara higienis akan menghasilkan produk sesuai standar, sehingga siap berkompetisi tingkat nasional, regional maupun internasional.
Saat ini jumlah pengrajin tempe di Indonesia mencapai lebih dari 100 ribu unit, yang terutama tersebar di 18 provinsi dan 177 kabupaten/kota. Sebagian besar produsen tempe merupakan usaha mikro, kecil dan menengah yang menggunakan rumah sebagai tempat produksinya
"Pemakaian bahan baku kedelai per unit produksi umumnya berkisar antara 50-200 kg, dengan keuntungan bersih Rp100m- 400 ribu per hari. Dengan demikian usha tempe memiliki kontribusi nyata dalam pengentasan masalah kemiskinan di Indonesia," katanya.
Wayan memaparkan, Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia. Kebutuhan kedelai Indonesi dewasa ini mencapai 2,72 juta ton per tahun, yang dipenuhi oleh produksi dalam negeri sebanyak 0,62 juta ton dan impor 2,1 juta ton. Sebanyak 90 persen dari kendelai nasional digunakan pangan, dan 10 persen sisanya untuk pakan serta benih.
Dalam konteks pangan, lanjutnya, sebanyak 70 persen kedelain digunakan untuk bahan baku tempe, 25 persen untuk tahun dan lima persen sisanya untuk produk pangan lainnya Produksi tempe nasional saat ini diperkirakan mencapai 2,6 juta ton per tahun, dengan konsumsi rata-rata sebesar 10,1 kg per kapita per tahun.
"Kebutuhan tempe meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan perkapita, kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya industri pangan menggunakan tempe," katanya.
Dalam materi orasinya yang berjudul "Tempe Sebagai Warisan Budaya dan Pangan Fungsional Persembahan dari Indonesia untuk Dunia", Prof Made mengusulkan tujuh strategi menciptakan industri tempe nasional yang tangguh.
Strategi tersebut yakni peningkatan produksi kedelai nasional, pemenuhan persyaratan mutu tempe nasional dan internasional, perbaikan proses pembuatan tempe di tingkat pengrajin, penganekaragaman produk olahan tempe berorientasi ekspor, pengkajian ilmiah khasiat tempe untuk kesehatan, peningkatan inovasi dan citra tempe di tingkat internasional serta perbaikan atas mispersepsi terhadap tempe.
"Melalui produksi tempe secara higienis, paling tidak tiga ari 17 tujuan SDGs akan tercapai, yakni mencegah kelaparan, meningkatkan kesehatan dan menghapus kemiskinan. Tempe tidak dapat dipandang remeh, maka perlu pemikiran strategis untuk mengembangkannya lebih kompetitif," kata Made.
Sumber : Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar