Berdasarkan catatan dari Kementerian Tenaga Kerja, hingga saat ini jumlah tenaga kerja asing mencapai 126 ribu orang. Ini berarti terjadi peningkatan 69,85 persen dibandingkan akhir 2016, yakni sebanyak 74.813 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 18.498 orang menjabat sebagai direksi atau komisaris, level manajer sebanyak 22.466 orang, sementara profesional sebanyak 37.877 orang. Sisanya sebanyak 45.177 orang bekerja di lapangan. Untuk tenaga kerja asing di sektor pertanian berjumlah 5.705 orang, sektor industri sebanyak 44.314 orang, serta perdagangan dan jasa sebanyak 75.987 pekerja. Mayoritas pekerja asing tersebut diketahui berasal dari China.
Biarpun kemudian oleh Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri data tersebut buru-buru direvisi, yakni jumlahnya menjadi 85 ribu pada akhir 2017. Ia bahkan menilai bahwa jumlah tenaga kerja asing di Indonesia masih wajar. Penilaian itu ia dasarkan pada rasio jumlah tenaga kerja asing dengan jumlah penduduk Indonesia."Jumlah tenaga kerja asing di Indonesia masih sangat wajar. Untuk melihat apakah jumlah itu wajar atau tidak, maka kita dapat membandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 250 juta jiwa," kata Hanif di Jakarta, Senin (23/4) seperti dikutip dari Antara.
Namun demikian bagi yang tak setuju Perpres tersebut, berargumen bahwa Perpres tersebut dianggap memberikan kemudahan perizinan kepada tenaga kerja asing, dan berpotensi melanggar beberapa undang-undang, di antaranya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dan salah satu pihak yang tak setuju dengan Perpres tersebut adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Bahkan KSPI berencana mengajukan gugatan uji materi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. KSPI mendapat bantuan hukum dari Yusril Ihza Mahendra dalam gugatan Perpres tersebut ke Mahkamah Agung.
“Saya akan bertindak sebagai kuasa hukum KSPI untuk menguji materil Perpres kontroversial yang diteken Presiden Jokowi dengan petitum maksimal agar Mahkamah Agung membatalkan Perpres karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya dari Perpres," kata Yusril, Senin (23/4).
Selain menggugat Perpres tentang TKA ke MA, KSPI berencana akan mengerahkan buruh memprotes aturan tersebut pada 1 Mei 2018 (MayDay) nanti. Mereka menuntut pemerintah mencabut Perpres yang dianggap mempermudah masuknya buruh asing.
Kajian LIPI
Hasil kajian LIPI menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan tenaga kerja asing di Indonesia.
Dan salah satu pihak yang tak setuju dengan Perpres tersebut adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Bahkan KSPI berencana mengajukan gugatan uji materi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. KSPI mendapat bantuan hukum dari Yusril Ihza Mahendra dalam gugatan Perpres tersebut ke Mahkamah Agung.
“Saya akan bertindak sebagai kuasa hukum KSPI untuk menguji materil Perpres kontroversial yang diteken Presiden Jokowi dengan petitum maksimal agar Mahkamah Agung membatalkan Perpres karena bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya dari Perpres," kata Yusril, Senin (23/4).
Selain menggugat Perpres tentang TKA ke MA, KSPI berencana akan mengerahkan buruh memprotes aturan tersebut pada 1 Mei 2018 (MayDay) nanti. Mereka menuntut pemerintah mencabut Perpres yang dianggap mempermudah masuknya buruh asing.
Kajian LIPI
Hasil kajian LIPI menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan tenaga kerja asing di Indonesia.
Pertama, tingginya intensitas penggunaan tenaga kerja asing dalam proyek investasi China dibandingkan negara lain. Dalam kurun waktu 2010-2016, China merupakan salah satu dari 10 investor terbesar yang masuk ke Indonesia. Peningkatan nilai investasi China yang relatif lebih cepat dibanding negara lain membawa konsekuensi tingginya tenaga kerja China yang masuk ke Indonesia. Lonjakan tajam mencapai hampir empat kali lipat telah terjadi dalam dua tahun terakhir yaitu dari 873 orang (2015) menjadi 4.236 orang (2016).
Kedua, meningkatnya tenaga kerja asing ilegal asal China. Meskipun tidak diketahui jumlah tenaga kerja ilegal asal China secara pasti, namun penemuan tenaga kerja asing China tanpa dokumen resmi di sejumlah daerah misalnya Bogor-Jawa Barat, Konawe-Sulewesi Tenggara, Gresik-Jawa Timur, Murungraya-Kalimantan Tengah, dan daerah lainnya mengindikasikan keberadaan tenaga kerja asing ilegal asal China telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh data pelanggaran keimigrasian tahun 2016, pelanggaran paling banyak berasal dari China yang angkanya mencapai 24% dari seluruh pelanggaran (7.787 orang).
Ketiga, adanya celah peraturan yang berpotensi memunculkan tenaga kerja asing ilegal, yaitu perubahan Permenaker No.12 Tahun 2013 menjadi Permenaker No 16 Tahun 2015 dan diubah lagi menjadi Permenaker 35 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permenaker No.16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Perubahan tersebut cenderung melonggarkan penggunaan tenaga kerja asing, khususnya dilihat dari penghapusan mengenai syarat dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d, Permenaker No.12 Tahun 2013. Syarat tersebut dalam Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 sudah dihilangkan. Demikian pula dengan penghapusan rasio jumlah tenaga kerja asing dengan tenaga kerja lokal. Sebelumnya pada pasal 3 Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 masih mencantumkan satu orang tenaga kerja asing menyerap 10 tenaga kerja lokal. Hal ini juga berdampak terhadap berkurangnya peluang penciptaan kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal sejalan dengan penggunaan tenaga kerja asing.
Keempat, pengawasan tenaga kerja asing yang belum maksimal. Minimnya ketersediaan tenaga pengawas menjadi salah satu kendala dalam melakukan pengawasan tenaga kerja asing. Berdasarkan data Kemenaker tahun 2017, pengawas tenaga kerja asing berjumlah 2.294 orang, terdiri dari pengawas umum, spesialis dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah tersebut belum mampu menjangkau tenaga kerja asing sebesar 71.025 orang yang merupakan tenaga kerja asing legal, belum lagi tenaga kerja asing ilegal. Tenaga pengawas tersebut juga harus mengawasi sejumlah 216.547 perusahaan. Idealnya satu pengawas mengawasi lima perusahaan. Sebagai dampaknya, banyak kasus pelanggaran akibat dari penegakan hukum yang kurang efektif.
Potensi Munculnya Permasalahan Sosial
Disamping itu, kondisi lapangan kerja di Indonesia yang semakin sulit diakses, membuat banyak tenaga lokal negeri ini menjadi pengangguran. Di tengah naik turunnya ekonomi dan harga bahan pokok, mereka harus berebut satu dengan lainnya demi mendapatkan pekerjaan layak. Serbuan tenaga kerja asing kian memperparah kondisi tersebut.
Atas nama era perdagangan bebas, Indonesia telah membuka lebar-lebar pintunya untuk tenaga kerja asing. Hal ini tentu saja menambah persaingan sengit di kalangan pencari kerja lokal Indonesia. Serbuan tenaga kerja asing akibat kemudahan yang diberikan Pemerintah tersebut diprediksi bakal memunculkan banyak permasalahan sosial.
Pertama, pengangguran tinggi. Sudah bukan rahasia umum. Tenaga kerja asing umumnya mempunyai skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Mulai dari kemampuan berbahasa Inggris dan pengetahuan teknis lainnya, membuat anak negeri semakin jauh tertinggal di belakang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2017, jumlah pengangguran mencapai 7,04 juta orang dari 128,06 juta angkatan kerja yang ada. Jika tidak segera dibenahi, angka tersebut akan semakin bertambah dan menimbulkan masalah sosial yang serius di masyarakat.
Kedua, kecemburuan sosial. Hidup susah, pengangguran pula. Hal inilah yang dirasakan oleh rakyat Indonesia bahkan hingga saat ini. Karena terdesak kebutuhan ekonomi, bukan tak mungkin tindakan kriminal menjadi jalan terakhir. Sempitnya lapangan kerja yang ditambah dengan kedatangan tenaga kerja asing, membuat tenaga lokal kian tersisih dan menjadi gelap mata. Hingga aksi melawan hukum pun, menjadi sebuah kebenaran yang absolut sebagai solusi bagi mereka yang tak suka berpikir panjang. Jika pemerintah tak segera menanggapi, siap-siaplah menghadapi kiamat kecil yang akan segera terjadi.
Ketiga, rawan konflik dan kejahatan. Jika hal tersebut terjadi, membuat masyarakat merasa gelisah dan tak lagi aman. Semua karena anak negeri yang tak bisa memenuhi hajat hidupnya di negeri sendiri. Ibarat sebuah pepatah, mereka seperti anak ayam yang mati di dalam lumbung padi. Jika tak segera ditangani, kekerasan dan anarkisme akan menjadi sebuah tontonan yang biasa di kemudian hari.
Keempat, terkikisnya budaya. Semua tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, pasti masih membawa kultur dan budaya mereka masing-masing. Kalau baik dan sesuai dengan masyarakat Indonesia tidak masalah Tapi jika negatif, ini yang bakal menjadi masalah baru. Tidak semua kultur asing sesuai dengan budaya Indonesia. Jika dipaksakan tanpa filter apapun, masyarakat Indonesia bakal terkena degradasi budaya lokal yang semakin tergerus dengan kebiasaan asing. Yang ironis, masyarakat kita tergolong orang-orang yang sangat mdah menyerap budaya-budaya asing yang baru seperti western culture, meski bertentangan dengan adat timur yang dianut.
Kejadian di atas hanyalah sebuah gambaran, betapa mengerikannya jika tenaga lokal benar-benar tersisih dari persaingan kerja di Indonesia. Tentunya, kita berharap agar pemerintah lebih peka dan membela hak rakyatnya di atas kepentingan golongan dan intervensi bangsa lain.
Kebijakan Pro Asing
Melihat data dan prediksi persoalan sosial sebagaimana disebutkan diatas, sebaiknya pemerintah membatalkan perpres tersebut karena tidak memiliki urgensi dalam menciptakan lapangan pekerjaaan maupun mengurangi tingkat pengangguran dalam negeri. Meski pemerintah hanya mempermudah izin bagi tenaga ahli, peluang tersebut dapat menjadi celah bagi ribuan pekerja asing masuk ke Indonesia. Sementara tenaga ahli dalam negeri cukup mumpuni untuk mengerjakan proyek infrastruktur maupun proyek pembangunan lainnya.
Program bebas visa terhadap sejumlah negara saja telah menyebabkan lonjakan tenaga kerja asing pekerja kasar. Mereka menetap hingga dua bulan lalu kembali ke negara masing-masing untuk memperpanjang visa. Jika perpres tersebut tetap dikeluarkan, masuknya tenaga kerja asing ke dalam negeri tidak dapat dibendung.
Perpres tenaga kerja asing semakin membenarkan penilaian sejumlah kalangan bahwa pemerintah terlalu liberal dalam memutuskan kebijakan bagi tenaga kerja asing, dan dampaknya angka penyerapan tenaga kerja lokal semakin kecil. Dengan kata lain, tidak pro kepada tenaga kerja lokal.
Catatan Akhir
Dalam konteks kebijakan publik, Perpres Penggunaan Tenaga Kerja Asing tersebut jauh dari harapan dan terlihat lebih berpihak kepada asing dibanding kepada bangsa Indonesia. Karenanya, agar kontroversi ini tidak berlanjut dan berpotensi semakin memanaskan suhu politik di tahun politik ini, Pemerintah sebaiknya mencabut Perpres tersebut.
Bahwa gugatan ke MA sedang dipersiapkan, aksi massa pun sedang menanti terjadi. Isuini juga pasti akan menjadi bola panas dan berpotensi mendegradasi kepercayaan publik ke Pemerintah. Namun, semua berpulang kepada Pemerintah. Kita lihat apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Menarik untuk terus kita amati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar