Hal ini pun terjadi pula pada masyarakat China. Negeri dengan penduduknya kini lebih dari satu miliar ini, menerima Islam dengan sambutan hangat.
Masuknya Islam ke China
Negeri China terletak di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara yakni Korea Utara, Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan, Nepal, Pakistan dan negara-negara lainnya.
China adalah sebuah negeri yang sangat unik. Memiliki kebudayaan dan peradaban tua di dunia, dibalik kemegahan dan keajaiban Great Wall (Tembok Raksasa), kekaisaran China menyimpan jutaan rahasi tentang sejarah dan peradaban Islam, mulai dari Dinasti Tang, Dinasti Sung, Dinasti Yuan, Dinasti Ming hingga Dinasti Manchu.
Sejarah mencatat, Islam masuk ke China pada masa Dinasti Tang (618-905 M), yang dibawa oleh salah seorang panglima Muslim, Saad bin Abi Waqqash, di masa Khalifah Utsman bin Affan. Menurut Chen Yuen, dalam karyanya, A Brief Study of the Introduction of Islam to China, masuknya Islam ke China sekitar tahun 30 H atau sekitar 651 M.
Ketika itu, China diperintah oleh Kaisar Yong Hui (ada pula yang menyebut nama Yung Wei). Data masuknya Islam ke Cina ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Tien Ying Ma dalam bukunya, Muslims in China. Buku ini secara lengkap mengupas sejarah perkembangan Islam di Cina sejak awal masuk hingga tahun 1980-an.
Ada dua jalur utama penyebaran agama Islam di China, yakni melalui darat atau biasa disebut dengan Jalur Sutera, dan jalan laut melalui pelayaran alias Jalur Lada. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah etnis Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di China kian bertambah banyak. Bahkan pada masa Dinasti Song berkuasa, sejumlah pedagang muslim telah menguasai industri ekspor dan impor di China.
Sebelumnya, banyak hikayat yang berkembang mengenai masuknya Islam ke Negeri Tirai Bambu ini. Namun, semua hikayat itu menceritakan adanya tokoh utama di balik penyebaran agama Islam di China.
Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa sahabat Rasulullah SAW yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethiopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethiopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraisy. Mereka antara lain Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Utsman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqash dan sejumlah sahabat lainnya.
Para sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di Kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581-618 M).
Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China ketika Saad bin Abi Waqqash dan tiga sahabatnya berlayar ke China dari Ethiopia pada 616 M. Setelah sampai di China, Saad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa Kitab Suci Alquran.
Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China pada 615 M--kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Saad bin Abi Waqqash untuk membawa ajaran Islam ke daratan Cina. Konon, Saad meninggal dunia di Cina pada 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars. Menurut Ibrahim Tien Ying Ma dalam bukunya, Muslims in China, versi terakhir ini yang lebih valid.
Utusan Khalifah Utsman itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang. Kaisar Yong Hui menghargai ajaran Islam dan menganggap ajaran Islam punya kesamaan dengan ajaran Konfusionisme. Untuk menunjukkan kekagumannya terhadap Islam, kaisar mengizinkan berdirinya masjid pertama di Chang-an (Kanton). Masjid itu bernama Huaisheng atau Masjid Memorial.
Menurut versi Ibrahim Tien Ying Ma, masjid itu diberi nama Kwang Tah Se, yang berarti Menara Cemerlang, dan dibangun oleh Yusuf. Sedangkan, masjid lainnya yang dibangun di sini adalah Chee Lin Se, yang berarti masjid dengan tanduk satu. Kedua masjid itu masih tetap berdiri hingga saat ini setelah 14 abad.
Ketika Dinasti Tang berkuasa, China tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat China.
Di dalam kitab sejarah China, yang berjudul Chiu T’hang Shu diceritakan China pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab). Orang-orang Ta Shih ini, merupakan duta dari Tan mi mo ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (Khalifah Utsman bin Affan).
Sementara itu, Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam menulis, pada tahun 674 M-675 M, China kedatangan salah seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina, Muawiyah melakukan observasi di tanah Jawa, yaitu dengan mendatangi kerajaan Kalingga.
Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa Dinasti Umayyah ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa Dinasti Abbasiyah dikirim sebanyak 18 duta.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi.
Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang-orang Bukhara itu lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’ komunitas Muslim di China.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, ada lagi Lan Yu Who, sekitar tahun 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama Laksamana Cheng Ho.
Islam Kini di China
Dari waktu ke waktu, Islam terus berkembang di negeri Tirai Bambu tersebut. Hingga saat ini ada 10 etnis minoritas di China yang memeluk agama Islam. Sebagian besar etnis Hui dan Uygur. Berdasarkan riset Pew Forum on Religion and Public Life, pemeluk agama Islam di China mencapai 23,3 juta pada 2010.
Survei tersebut mengungkap 22,4 persen anak muda China memeluk agama Islam. Meski masih menjadi agama minoritas namun survei Pew mengungkapkan bahwa jumlah penganut Islam akan terus bertambah bahkan akan menjadi 29,9 juta pada tahun 2030. Dan Xinjiang adalah wilayah dengan jumlah penganut Islam terbesar di China, ada sekitar 10 juta warga Muslim di wilayah tersebut.
Selain itu, ada sekitar 30 ribu masjid berdiri di tanah China dengan memiliki sekitar 40 ribu imam dan pengajar muslim. Menurut Asosiasi Islam China, sejak 1980 sudah ada sekitar 40 ribu Muslim China yang menunaikan ibadah haji.
Meski secara keseluruhan Islam masih menjadi minoritas di China, namun The China Religion Survey 2015 yang dirilis oleh National Survey Research Center (NSRC), Renmin University of China mengungkapkan, Islam adalah agama yang populer di kalangan anak muda China. Survei menemukan bahwa di antara lima agama besar di China (Buddha, Islam, Tao, Katolik dan Protestan), Islam adalah agama dengan pemeluk muda yang berusia di bawah 30 tahun terbanyak, yakni 22,4 persen.
"Islam cenderung memiliki pemeluk lebih muda. Kebanyakan pemeluk Islam adalah kelompok etnis minoritas dan wanitanya biasa memiliki beberapa anak. Anak-anak mereka juga menjadi Muslim sementara sangat jarang orang dewasa yang masuk Islam," kata Wei Dedong, professor studi agama Buddha di Sekolah Filsafat di Universitas Renmin China, dikutip dari Global Times.
Katolik menempati posisi kedua pemeluk muda terbanyak dengan 22 persen. Sementara Buddha dan Tao, memiliki jumlah pemeluk terbesar di atas usia 60 tahun, meliputi 54,6 dan 53,8 persen dari total jemaah.
Survei juga menunjukkan bahwa Badan Pemerintahan Urusan Agama China mengunjungi tempat ibadah 3,8 kali per tahun dan Departemen Persatuan Front Pekerja (UFWD) mengunjunginya 1,8 kali dalam setahun. Menurut Wei Dedong, hal itu dilakukan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan kelompok keagamaan.
Pemerintah China juga menerbitkan kertas putih terkait kebebasan berkeyakinan untuk emmebri kebebasan kepada penduduknya emmeluk agama termasuk agama Islam. Konstitusi Republik Rakyat China menyatakan "Republik Rakyat China menjamin warga negara memiliki kebebasan beragama," dan "Tidak ada organ negara, organisasi masyarakat atau individu dapat memaksa warga untuk percaya pada agama atau tidak beragama, tidak mendiskriminasikan warga negara beragama dengan warga negara yang tidak beragama."
Menurut konstitusi, "Negara melindungi kegiatan agama secara baik, namun tidak ada yang bisa memanfaatkan agama untuk mengganggu ketertiban umum, merusak ketentraman warga atau mengganggu sistem pendidikan negara."
Meski demikian, perkembangan Islam di China diwarnai dengan adanya berbagai diskriminasi. Misalnya larangan berpuasa pada Muslim Xinjiang yang notabene memiliki populasi muslin terbesar di China. Pemerintah Cina melarang segala bentuk aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah.
Menurut laporan Reuters, Pemerintah Cina menerapkan kebijakan pendidikan baru yang melarang para orang tua dan guru menyertakan anak-anak mereka dalam berbagai aktivitas keagamaan. Peraturan baru ini berlaku mulai November lalu.
Meski adanya pelarangan yang merugikan penganut agama Islam, namun popularitas Islam akan semakin meningkat di negera tersebut. Pew Forum on Religion & Public Life memperkirakan jumlah penganut Islam di China akan meningkat menjadi 29,9 juta di tahun 2030.
Catatan Akhir
Tanggung jawab terhadap perkembangan Islam di negeri Tirai Bambu tentu bukan hanya berada di pundak masyarakat muslim China sendiri, tetapi juga masyarakat muslim di negeri-negeri lainnya, termasuk Indonesia.
Kalau masyarakat Barat yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang dengan dunia Islam pada hari ini banyak yang terdorong untuk mempelajari dan masuk Islam, mengapa masyarakat China yang tidak memiliki sejarah permusuhan dengan dunia Islam harus dianggap lebih sulit untuk merangkul Islam?
Tapi tentu saja semua itu sulit diwujudkan selama kaum muslimin sendiri masih terlalu menonjolkan ego, ketidakperdulian, serta tidak mampu menampilkan diri sebagai komunitas Islam yang baik dan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh agama mereka.
Masuknya Islam ke China
Negeri China terletak di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara yakni Korea Utara, Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan, Nepal, Pakistan dan negara-negara lainnya.
China adalah sebuah negeri yang sangat unik. Memiliki kebudayaan dan peradaban tua di dunia, dibalik kemegahan dan keajaiban Great Wall (Tembok Raksasa), kekaisaran China menyimpan jutaan rahasi tentang sejarah dan peradaban Islam, mulai dari Dinasti Tang, Dinasti Sung, Dinasti Yuan, Dinasti Ming hingga Dinasti Manchu.
Sejarah mencatat, Islam masuk ke China pada masa Dinasti Tang (618-905 M), yang dibawa oleh salah seorang panglima Muslim, Saad bin Abi Waqqash, di masa Khalifah Utsman bin Affan. Menurut Chen Yuen, dalam karyanya, A Brief Study of the Introduction of Islam to China, masuknya Islam ke China sekitar tahun 30 H atau sekitar 651 M.
Ketika itu, China diperintah oleh Kaisar Yong Hui (ada pula yang menyebut nama Yung Wei). Data masuknya Islam ke Cina ini dipertegas lagi oleh Ibrahim Tien Ying Ma dalam bukunya, Muslims in China. Buku ini secara lengkap mengupas sejarah perkembangan Islam di Cina sejak awal masuk hingga tahun 1980-an.
Ada dua jalur utama penyebaran agama Islam di China, yakni melalui darat atau biasa disebut dengan Jalur Sutera, dan jalan laut melalui pelayaran alias Jalur Lada. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah etnis Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di China kian bertambah banyak. Bahkan pada masa Dinasti Song berkuasa, sejumlah pedagang muslim telah menguasai industri ekspor dan impor di China.
Sebelumnya, banyak hikayat yang berkembang mengenai masuknya Islam ke Negeri Tirai Bambu ini. Namun, semua hikayat itu menceritakan adanya tokoh utama di balik penyebaran agama Islam di China.
Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa sahabat Rasulullah SAW yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethiopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethiopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraisy. Mereka antara lain Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Utsman bin Affan, suami Ruqayyah; Sa'ad bin Abi Waqqash dan sejumlah sahabat lainnya.
Para sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di Kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581-618 M).
Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China ketika Saad bin Abi Waqqash dan tiga sahabatnya berlayar ke China dari Ethiopia pada 616 M. Setelah sampai di China, Saad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa Kitab Suci Alquran.
Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di China pada 615 M--kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Saad bin Abi Waqqash untuk membawa ajaran Islam ke daratan Cina. Konon, Saad meninggal dunia di Cina pada 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys' Mazars. Menurut Ibrahim Tien Ying Ma dalam bukunya, Muslims in China, versi terakhir ini yang lebih valid.
Utusan Khalifah Utsman itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang. Kaisar Yong Hui menghargai ajaran Islam dan menganggap ajaran Islam punya kesamaan dengan ajaran Konfusionisme. Untuk menunjukkan kekagumannya terhadap Islam, kaisar mengizinkan berdirinya masjid pertama di Chang-an (Kanton). Masjid itu bernama Huaisheng atau Masjid Memorial.
Menurut versi Ibrahim Tien Ying Ma, masjid itu diberi nama Kwang Tah Se, yang berarti Menara Cemerlang, dan dibangun oleh Yusuf. Sedangkan, masjid lainnya yang dibangun di sini adalah Chee Lin Se, yang berarti masjid dengan tanduk satu. Kedua masjid itu masih tetap berdiri hingga saat ini setelah 14 abad.
Ketika Dinasti Tang berkuasa, China tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat China.
Di dalam kitab sejarah China, yang berjudul Chiu T’hang Shu diceritakan China pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab). Orang-orang Ta Shih ini, merupakan duta dari Tan mi mo ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (Khalifah Utsman bin Affan).
Sementara itu, Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam menulis, pada tahun 674 M-675 M, China kedatangan salah seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina, Muawiyah melakukan observasi di tanah Jawa, yaitu dengan mendatangi kerajaan Kalingga.
Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa Dinasti Umayyah ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa Dinasti Abbasiyah dikirim sebanyak 18 duta.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi.
Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang-orang Bukhara itu lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’ komunitas Muslim di China.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, ada lagi Lan Yu Who, sekitar tahun 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama Laksamana Cheng Ho.
Islam Kini di China
Dari waktu ke waktu, Islam terus berkembang di negeri Tirai Bambu tersebut. Hingga saat ini ada 10 etnis minoritas di China yang memeluk agama Islam. Sebagian besar etnis Hui dan Uygur. Berdasarkan riset Pew Forum on Religion and Public Life, pemeluk agama Islam di China mencapai 23,3 juta pada 2010.
Survei tersebut mengungkap 22,4 persen anak muda China memeluk agama Islam. Meski masih menjadi agama minoritas namun survei Pew mengungkapkan bahwa jumlah penganut Islam akan terus bertambah bahkan akan menjadi 29,9 juta pada tahun 2030. Dan Xinjiang adalah wilayah dengan jumlah penganut Islam terbesar di China, ada sekitar 10 juta warga Muslim di wilayah tersebut.
Selain itu, ada sekitar 30 ribu masjid berdiri di tanah China dengan memiliki sekitar 40 ribu imam dan pengajar muslim. Menurut Asosiasi Islam China, sejak 1980 sudah ada sekitar 40 ribu Muslim China yang menunaikan ibadah haji.
Meski secara keseluruhan Islam masih menjadi minoritas di China, namun The China Religion Survey 2015 yang dirilis oleh National Survey Research Center (NSRC), Renmin University of China mengungkapkan, Islam adalah agama yang populer di kalangan anak muda China. Survei menemukan bahwa di antara lima agama besar di China (Buddha, Islam, Tao, Katolik dan Protestan), Islam adalah agama dengan pemeluk muda yang berusia di bawah 30 tahun terbanyak, yakni 22,4 persen.
"Islam cenderung memiliki pemeluk lebih muda. Kebanyakan pemeluk Islam adalah kelompok etnis minoritas dan wanitanya biasa memiliki beberapa anak. Anak-anak mereka juga menjadi Muslim sementara sangat jarang orang dewasa yang masuk Islam," kata Wei Dedong, professor studi agama Buddha di Sekolah Filsafat di Universitas Renmin China, dikutip dari Global Times.
Katolik menempati posisi kedua pemeluk muda terbanyak dengan 22 persen. Sementara Buddha dan Tao, memiliki jumlah pemeluk terbesar di atas usia 60 tahun, meliputi 54,6 dan 53,8 persen dari total jemaah.
Survei juga menunjukkan bahwa Badan Pemerintahan Urusan Agama China mengunjungi tempat ibadah 3,8 kali per tahun dan Departemen Persatuan Front Pekerja (UFWD) mengunjunginya 1,8 kali dalam setahun. Menurut Wei Dedong, hal itu dilakukan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan kelompok keagamaan.
Pemerintah China juga menerbitkan kertas putih terkait kebebasan berkeyakinan untuk emmebri kebebasan kepada penduduknya emmeluk agama termasuk agama Islam. Konstitusi Republik Rakyat China menyatakan "Republik Rakyat China menjamin warga negara memiliki kebebasan beragama," dan "Tidak ada organ negara, organisasi masyarakat atau individu dapat memaksa warga untuk percaya pada agama atau tidak beragama, tidak mendiskriminasikan warga negara beragama dengan warga negara yang tidak beragama."
Menurut konstitusi, "Negara melindungi kegiatan agama secara baik, namun tidak ada yang bisa memanfaatkan agama untuk mengganggu ketertiban umum, merusak ketentraman warga atau mengganggu sistem pendidikan negara."
Meski demikian, perkembangan Islam di China diwarnai dengan adanya berbagai diskriminasi. Misalnya larangan berpuasa pada Muslim Xinjiang yang notabene memiliki populasi muslin terbesar di China. Pemerintah Cina melarang segala bentuk aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah.
Menurut laporan Reuters, Pemerintah Cina menerapkan kebijakan pendidikan baru yang melarang para orang tua dan guru menyertakan anak-anak mereka dalam berbagai aktivitas keagamaan. Peraturan baru ini berlaku mulai November lalu.
Meski adanya pelarangan yang merugikan penganut agama Islam, namun popularitas Islam akan semakin meningkat di negera tersebut. Pew Forum on Religion & Public Life memperkirakan jumlah penganut Islam di China akan meningkat menjadi 29,9 juta di tahun 2030.
Catatan Akhir
Tanggung jawab terhadap perkembangan Islam di negeri Tirai Bambu tentu bukan hanya berada di pundak masyarakat muslim China sendiri, tetapi juga masyarakat muslim di negeri-negeri lainnya, termasuk Indonesia.
Kalau masyarakat Barat yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang dengan dunia Islam pada hari ini banyak yang terdorong untuk mempelajari dan masuk Islam, mengapa masyarakat China yang tidak memiliki sejarah permusuhan dengan dunia Islam harus dianggap lebih sulit untuk merangkul Islam?
Tapi tentu saja semua itu sulit diwujudkan selama kaum muslimin sendiri masih terlalu menonjolkan ego, ketidakperdulian, serta tidak mampu menampilkan diri sebagai komunitas Islam yang baik dan ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh agama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar