“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).’
Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.”
(QS. an-Nahl: 68-69).
Di antara bentuk akhlak terpuji yang seyogyanya kita miliki sebagai seorang mukmin adalah semangat berkorban untuk orang lain dan memberi kepada orang yang membutuhkan. Berkorban untuk menularkan kebaikan bagi orang lain dan memberi untuk meringankan beban berat yang ada di pundak orang lain.
Kita berupaya untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan kepada orang lain. Kita diajarkan untuk mau menebarkan kebaikan kepada siapa saja dan di mana saja. Di mana pun kaki kita berpijak. Menjadi pribadi yang laksana lebah. Hinggap di tempat yang baik, menghisap yang paling baik, menyebarkan yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Itulah akhlak kita, jati diri kita dan karakter yang seharusnya melekat pada diri kita, mukmin.
Kita tidak diajarkan menjadi seperti lalat. Hinggap di tempat yang paling kotor, mengambil yang kotor dan menyebarkan yang kotor untuk merusak manusia.
Haram bin Hayyan, ahli ibadah yang pernah menjadi pegawai Umar bin Khattab berkata: ‘Tiada seorang hamba yang mendekatkan hatinya kepada Allah Ta’ala, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang mukmin kepadanya hingga ia mendapatkan kasih sayang mereka’.
Untuk mengetahui apakah kita telah mewujud menjadi manusia lebah atau lalat, salah satu ukurannya adalah kesaksian para tetangga yang telah berinteraksi dengan kita.
Muhammad bin Jahm, didatangi seseorang yang ingin membeli rumahnya dengan harga seratus ribu dirham, ia bertanya: ‘Berapa engkau akan membeli rumahku dengan tetangga Sa’id bin Ash?’, lalu ia melanjutkan ucapannya: ‘Berapa engkau memberikan harga tetanggaku, yang bila engkau meminta sesuatu darinya, ia akan memberi. Jika engkau diam ia akan menyapa dan menegurmu terlebih dahulu. Jika engkau berbuat jahat padanya, justru ia membalasmu dengan kebaikan. Jika engkau jauhi dan hindari, ia akan mendekat dan tetap lemah lembut kepadamu?’.
Ketika hal itu dikhabarkan kepada Sa’id, ia mengirimkan utusan dengan membawa 100 ribu dirham. ‘Tetaplah tinggal di rumahmu’, kata Sa’id.
Semangat memberi, berkorban dan memberi warna kebaikan tidak dibatasi waktu, profesi, jabatan dan tidak memilah-milah orang yang ingin kita bidik.
Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam kitabnya “hilyat al-auliya'” menceritakan tentang Abu Ja’far bin al-Baqir, suatu ketika ia memberikan wasiat kepada khalifah Umar bin Abdul Azis, penguasa yang adil dan sangat dicintai rakyatnya.
“Pergaulilah manusia dalam tiga tingkatan. Pertama; orang yang lebih tua usianya darimu, anggaplah ia sebagai orang tuamu. Kedua; orang yang sebaya denganmu, jadikanlah ia sebagai saudara kandungmu. Ketiga; orang yang lebih muda usianya darimu, posisikanlah ia sebagai anakmu. Maka berbaktilah kepada orang tuamu, sambungkanlah silaturrahim dengan saudaramu, dan kasihilah anakmu’.
Sekiranya kita mampu merealisasikan pesan Abu Ja’far al-Baqir ini dalam kehidupan, niscaya kita dikasihi oleh semua manusia. Orang tua, sebaya, lebih muda usia dan semua lapisan umat, semua menghadirkan kita dalam kehidupan mereka.
Namun pada saat kita salah dalam memposisikan manusia di hati kita, atau keliru dalam berinteraksi dengan mereka, pastilah kita dijauhi sesama. Arak-arakan mendung akan selalu menghiasi langit-langit hati kita.
Keindahan pekerti bukan sekadar parameter kesempurnaan iman kita, bahkan pekerti yang luhur memiliki korelasi dengan kemapanan ekonomi dan terbukanya pintu rezeki kita. Yahya bin Muadz rahimahullah berkata, ‘Akhlak yang baik adalah mutiara rezeki yang terpendam’.
Bila kita merasakan kran rezeki kita seperti tersumbat, cobalah kita buka salurannya dengan menampilkan pesona akhlak yang menyejukan mata insan yang melihatnya. Membuka jendela hati orang yang menatapnya. Membuat jatuh hati siapa yang ada di dekatnya. Mari kita jadikan akhlak sebagai bunga diri kita. Penghias pesona kita. Agar kita dipuji Zat yang di Atas sana dan dicintai makhluk yang hidup bersama kita.
Imanlah yang mampu mendorong kita untuk berbuat baik. Meski secara kasat, mungkin sia-sia, bahkan berupa beban atau kesulitan. Kebaikan harus ditebarkan pada siapa saja. Keadilan harus dinikmati siapa saja. Kezaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Itulah sendi-sendi ajaran Islam yang diberikan pada kita.
Abdullah bin Umar r.a pernah ditanya salah seorang budaknya pada saat ia menyembelih seekor domba, “Apakah engkau akan menghadiahkan sebagian dagingnya untuk tetangga kita yang beragama yahudi?.”
Ia menjawab, “Ya, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku agar kuberbuat baik terhadap tetangga, sehingga aku mengira bahwa tetangga itu mempunyai hak waris.” (HR. Bukhari Muslim).
Apa rahasianya orang mudah memberi dan berkorban dengan apa yang dia punya?. Keimanan itulah jawabannya. Iman yang menggerakkan tubuh kita kita mengukir kebaikan dana mal shalih. Memberi tanpa berharap balasan. Berkorban tanpa meminta hadiah. Menyeru dan berusaha menebarkan kebaikan kepada siapa saja dan di mana saja, dan hanya mengharap balasan dari Allah Ta’ala.
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara’: 109).
Dengan iman, terasa begitu ringan kita mengeluarkan zakat, sedekah, derma dan bahkan jihad sekalipun. Walau berakhir dengan kematian. Karena dengan kaca mata iman yang kita sandang, surga dan neraka serta balasan di sisi-Nya terlihat begitu jelas dan dekat.
Jangan berhenti berbagi kebaikan untuk orang lain. Jangan pernah surut untuk melahirkan kebahagiaan bagi orang lain. Kapan dan di mana pun kita berada. Mungkin ada yang tidak sependapat dengan bentuk pengorbanan yang kita berikan pada orang lain. Karena mereka menganggap kita hanya menyulitkan diri sendiri. Ada juga yang menganggap upaya kita untuk membahagiakan orang lain, hanya membebani diri sendiri dan tiada gunanya.
Itu semua karena mereka hanya memikirkan kepentingan dan manfaat sesaat. Dasar penilaian mereka adalah pamrih dunia yang didapat. Manfaat yang terserap. Kebahagiaan yang mengkilap.
Mereka lupa, bahwa masa depan di akherat jauh lebih penting. Kebahagiaan di sana jauh lebih memikat. Bidadari surga lebih membuat mata terperanjat. Sehingga tipu daya setan di dunia tidak mampu menjerat.
Pengalaman hidup yang mungkin pernah kita alami, bila kita jujur dan tulus kepada orang lain, mungkin orang malah akan menipu kita. Tapi tetaplah jujur dan tulus. Karena ketulusan dan kerelaan kita dalam menampilkan kejujuran tiada pernah sia-sia di sisi-Nya.
Jika kita mengalami ketenangan, kebahagiaan dan kejayaan, mungkin ada orang yang iri dan hasud dengan kita. Tapi tetaplah syukuri kebahagiaan kita. Kebaikan kita kemarin dan hari ini, gampang dan sering dilupakan oleh orang lain. Tapi teruslah dan tetaplah melakukan kebaikan. Karena inti masalahnya, ada diantara kita dengan Allah. Bukan antara kita dengan manusia, siapa pun jua orangnya. Keyakinan inilah yang harus selalu tertancap di dalam jiwa kita. Tetap hidup di dalam hati kita. Tetap subur dalam bathin kita yang paling dalam.
Mari kita berusaha selalu menjadi manusia lebah dan jangan pernah berpikir menjadi manusia lalat. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dan menerangi jalan-jalan kita menuju surga-Nya.
Di dunia kita berlelah-lelah dalam memberi manfaat dan kebaikan pada orang lain. Di sini kita berletih-letih dalam berjuang dan mengabdi kepada-Nya. Jangan sampai keletihan dan kelelahan itu kita rasakan di sana.
Semoga keletihan kita berganti kebahagiaan di sana. Semoga kelelahan kita diganti dengan kesenangan yang abadi di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar