Prof Hoesein Djajadiningrat, Orang Indonesia Pertama Peraih Gelar Doktor

Adalah Hoesein Djajadiningrat, orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor (S3) dan juga Professor (Guru Besar). 

Nama lengkapnya adalah Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat, lahir pada tanggal 8 Desember 1886, di Serang, Banten, dan meninggal dunia pada 12 November 1960, pada usia 73 tahun. Ia merupakan anak dari R. Bagoes Djajawinata, wedana Kramatwatu dan Bupati Serang kelahiran Pandeglang, dan ibunya Ratu Salehah, berasal dari Cipete, Serang (Sajad, dkk. 2016).

Hoesein meraih gelar doktor dalam bidang sejarah dari Fakultas Humaniora, dengan disertasi berjudul : Analisis Kritis Atas Sejarah Banten: Sebuah Kontribusi Atas Historiografi Jawa, yang berhasil dipertahankannya di hadapan sidang penguji pada Oktober 1913.

Terkait dengan kisah pelajar Hoesein. Dia tidak hanya doktor pertama di Indonesia, namun juga intelektual yang disegani di Belanda. Pada tahun 1908, sebelum merampungkan disertasinya, Hoesein memenangi kompetisi penulisan ilmiah di Universitas Leiden, dengan judul: Analisis Kritis Atas Sumber Berbahasa Melayu Tentang Sejarah Kesultanan Aceh. 

Tulisan sepanjang 130 halaman ini mendapat pujian karena analisanya yang kritis, alur pikirnya yang logis dan metodenya yang jernih. Artikel ini kemudian diterbitkan di jurnal prestisius internasional: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (Kontribusi untuk Linguistik, Antropologi dan Etnologi, red) Volume 65 dan terbit pada 1911 dan menjadikan nama Hoesein sejajar dengan para mahasiswa Belanda lainnya. Hingga kini, jurnal yang dikelola oleh lembaga riset KITLV yang berlokasi di Kota Leiden ini masih merupakan salah satu jurnal internasional kelas satu di dunia.

Dua karya Hoesein di atas hanyalah awal dari karya-karya Husein lain tentang sejarah Indonesia yang membuat dia tidak hanya dinobatkan sebagai Bapak Metodologi Ilmu Sejarah di Indonesia, namun juga Indolog atau ahli Indonesia pertama dari kalangan pribumi. 

Hoesein Djajadiningrat juga sangat banyak menulis tentang Islam di Indonesia, seperti De Naam van den eerste Mohammedaansche vorst in West Java (1993), Critischoversich van de Maleische weken vervatte gegevens van het Sultanat van Atjeh (1911), dan Critische beschouwing van de Sadjarah Banten (1913). 

Dalam pandangannya mengenai sejarah daerah kelahirannya, yaitu Banten, ia mengkritisi naskah-naskah tradisional mengenai Sejarah Kesultanan Banten, terutama dalam naskah Sadjarah Banten. Ia mencoba mencari kebenaran dari Sejarah Banten melalui naskah tradisional tersebut. Menurutnya, isi dari Sejarah Banten dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: 1) Bagian pertama yang berisi bermacam-macam tradisi yang tidak ada sangkut pautnya satu dengan yang lain, dan tidak ada hubungannya dengan Sejarah Banten itu sendiri, dan 2) Bagian kedua yang membicarakan Sejarah Banten, dimulai dengan kedatangan Hasanuddin dan ayahnya, Sunan Gunung Jati, di Banten.

Pada tahun 1924, ia diangkat menjadi guru besar di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta) dan memberikan kuliah tentang Hukum Islam serta bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Ia kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Hindia pada 1935 dan 1941. Selain itu, dalam jangka waktu yang panjang ia juga pernah menjadi konservator naskah (manuskrip) di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Masyarakat Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan). Pada awalnya Husein Djajadiningrat hanya sebagai anggota direksi, kemudian sejak 1936 menjadi ketuanya (Sajad dkk., 2016: 1457). 

Selanjutnya, pada tahun 1935, ketika Hoesein Djajadiningrat menjadi Ketua Java Instituut, yaitu suatu badan yang kegiatannya berfokus pada pengkajian serta pelestarian kebudayaan Jawa, salah satu bentuk kepedulian tersebut dibuktikan dengan dibangunnya sebuah Museum Negeri Sanabudaya yang terletak di Alun-alun Utara, Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. (Nurhayati dkk., 2018:15).

Di penghujung masa Hindia Belanda, tepatnya pada 1940, Hoesein Djajadiningrat menjabat sebagai Direktur Pengajaran Agama. Pada masa Pendudukan Jepang, ia menjadi Direktur Lembaga Urusan Agama (Shumubu), lembaga yang bertransformasi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia menjadi Departemen Agama (Ali, 2009: 146). Setelah era kemerdekaan Indonesia pada 1948, ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan pada masa pemerintahan Presiden Sukarno

Selanjutnya, Hoesein Djajadiningrat menjadi Guru Besar (Profesor) di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, pada 1952. Setelah itu, beberapa tahun kemudian pada 1957, ia menjadi pemimpin umum Lembaga Bahasa dan Aturan sejak dahulu kala istiadat/Lembaga Bahasa dan Budaya (LBB), merangkap sebagai bagian dari anggota Komisi Istilah di lembaga tersebut. 

Hoesein wafat pada umur 73 tahun, tepatnya pada 12 November 1960 di Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar